ESGNOW.ID, GUATEMALA — Perubahan iklim mengancam eksistensi pisang sebagai salah satu pangan pokok dunia. Penelitian terbaru dari organisasi kemanusiaan Christian Aid memperkirakan bahwa 60 persen lahan yang cocok untuk menanam pisang akan hilang akibat naiknya permukaan laut dan cuaca ekstrem pada 2080.
Amerika Latin dan Karibia, yang saat ini menyuplai 80 persen ekspor pisang dunia, termasuk kawasan yang paling terancam. Tanaman pisang rentan terhadap suhu ekstrem, kekeringan, banjir, dan serangan hama yang makin sering terjadi akibat pemanasan global.
“Perubahan iklim berdampak pada petani pisang di seluruh dunia, yang setiap hari berjuang menghadapi pola cuaca yang tidak dapat diprediksi, teriknya matahari, banjir, angin topan, serta meningkatnya hama dan penyakit,” kata Anna Pierides, manajer senior Fairtrade Foundation, seperti dikutip dari Euronews, Selasa (13/5/2025).
Pisang menjadi makanan pokok bagi lebih dari 400 juta orang di dunia dan menyumbang 15 hingga 20 persen kebutuhan kalori harian masyarakat miskin. Komoditas ini merupakan pangan pertanian keempat terpenting setelah gandum, beras, dan jagung.
“Perubahan iklim membunuh panen kami. Ini artinya tidak ada pemasukan karena kami tidak bisa menjual apa pun. Apa yang terjadi di ladang saya adalah kematian, apa yang terjadi adalah kematian,” ungkap petani pisang Guatemala, Aurelia Pop Xo.
Pisang membutuhkan suhu ideal antara 15 hingga 35 derajat Celsius dan sangat bergantung pada ketersediaan air. Tanaman ini juga sangat sensitif terhadap badai, yang dapat merusak daun dan menghambat proses fotosintesis. Kenaikan suhu turut memicu penyebaran penyakit jamur seperti Fusarium Tropical Race 4 yang mematikan.
“Tanpa perubahan sistemik, kami melihat hilangnya pisang ambon putih (varian dominan) karena Fusarium Tropical Race 4, infeksi jamur yang menyerang akar tanaman dan dapat menghilangkan seluruh ladang pertanian,” jelas Holly Woodward-Davey, koordinator proyek Banana Link.
Penyakit ini kini telah ditemukan di negara-negara produsen utama pisang seperti Kolombia dan Peru. Aurelia menambahkan bahwa gelombang panas selama dua tahun terakhir menjadi ancaman terbesar bagi para petani di Guatemala.
“Di masa lalu, ada prediksi bahwa hal ini akan terjadi di masa depan. Namun hal ini terjadi lebih awal, dan ini karena kita tidak menjaga tanah air, ekosistem. Hal ini sangat mengkhawatirkan bagi anak-anak kami dan terutama bagi cucu-cucu kami,” katanya.
Christian Aid bersama aktivis dan pakar pangan mendesak negara-negara kaya untuk memangkas emisi secara drastis sebagai akar dari krisis iklim yang menghantam petani pisang. Mereka menekankan pentingnya pendanaan iklim bagi masyarakat paling terdampak.
Direktur kampanye dan kebijakan Christian Aid, Osai Ojigho, mengatakan bahwa tahun ini menjadi momen krusial dalam Perjanjian Paris karena negara-negara diminta memperbarui target penurunan emisi (NDC) mereka.
“Ini kesempatan besar bagi negara-negara untuk mempercepat transisi dari bahan bakar fosil ke energi bersih, sekaligus memastikan pendanaan iklim dapat menjangkau orang-orang yang sangat membutuhkannya. Para pemimpin dunia tidak boleh lengah,” tegasnya.