“Data mengatakan CCS menyerap karbon paling tinggi. Potensi 600 gigaton itu alangkah bagusnya kalau bisa dimanfaatkan. Cuma tantangannya tidak mudah dan banyak sekali faktornya. Tidak cuma subsurface tapi juga faktor pembeli,” ujar Adam menyinggung soal perdagangan karbon.
Ia menjelaskan, hingga saat ini Indonesia telah memiliki 14 aktivitas terkait CCS/CCUS. Namun, belum ada yang bersifat komersial karena berbagai hal. “Hasil hitungan sementara kami (SKK Migas), kalau untuk skala kecil itu kita tidak bisa membangun standalone project karena tidak ekonomis,” tuturnya.
Tantangan lain dalam mendorong kegiatan CCS/CCUS adalah terkait perizinan. Hal tersebut diungkapkan oleh Direktur Mitigasi Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Haruki Agustina.
"Dalam konteks perizinan, belum ada peraturannya. Harus dilihat serta melakukan riset dan analisis. Harus ada kajian-kajian, nanti diajukan ke kami (KLH) untuk perizinan,” terang Haruki.
Adapun penerapan teknologi CCS/CCUS merupakan salah satu langkah penting untuk mengurangi jejak karbon, memperpanjang umur produksi migas, sekaligus memberikan kontribusi ekonomi lewat perdagangan karbon.
Hal ini juga mendukung asa negara mencapai Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 dan memenuhi komitmen Nationally Determined Contribution (NDC) yang menargetkan pengurangan emisi 29 persen secara mandiri pada 2030.