ESGNOW.ID, JAKARTA — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) masih optimistis untuk bisa mengejar target Net Zero Emission atau emisi nol bersih pada tahun 2060 mendatang. Sejumlah langkah telah disusun mulai transisi pembangkit listrik batu bara ke energi terbarukan hingga penyimpanan emisi karbon di reservoir bawah tanah.
"Kita harus meningkatkan ketahanan energi dengan mempercepat transisi energi bersih dan mengurangi kebutuhan impor dan konsumsi bahan bakar fosil. Ketahanan energi menjadi semakin penting dalam perjalanan menuju net-zero," kata Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana dalam keterangannya di Jakarta, akhir pekan lalu.
Dadan mengatakan, untuk mencapai netralitas karbon tersebut, Indonesia menjadikan program dekarbonisasi tidak hanya di sektor ketenagalistrikan saja, namun menyentuh juga ke sektor konsumsi energi yang terdiri dari industri, transportasi, perumahan dan sektor komersial. Oleh karena itu, dalam peta jalan yang dibuat pemerintah menuju NZE, strategi utama di sisi pasokan adalah pengembangan besar-besaran produk-produk baru dan energi terbarukan dan menghentikan bertahap pembangkit listrik berbahan bakar fosil. Kemudian, ada pula konversi dari pembangkit listrik tenaga diesel menjadi gas dan terbarukan, serta pemanfaatan rendah emisi teknologi seperti teknologi CCS/CCUS, hidrogen, dan nuklir.
Dadan memaparkan, mulai tahun 2030 pengembangan Variable Renewable Energy (VRE) Solar PV semakin meningkat secara besar-besaran dan disusul pembangkit listrik tenaga angin mulai 2037. Sementara untuk energi nuklir akan komersial pada 2039 demi meningkatkan keandalan sistem tenaga. Kapasitas energi nuklir akan ditingkatkan hingga 31 GW pada tahun 2060.
“Sementara hidrogen akan mulai diproduksi dari pembangkit listrik energi terbarukan pada tahun 2031 untuk transportasi dan industri," kata Dadan.
Di sektor transportasi, yakni dengan melanjutkan pemanfaatan biofuel, mempercepat kendaraan listrik, menerapkan penggunaan hidrogen untuk truk, bahan bakar ramah lingkungan untuk kendaraan, dan kapal listrik untuk jarak pendek.
"Sementara di sektor rumah tangga dan komersial dengan mengganti LPG dengan kota gas, kompor induksi, dan dimetil eter, serta meningkatkan penggunaan tinggi peralatan hemat energi,” kata Dadan.
Selain itu, langkah yang juga disiapkan pemerintah yakni dengan menerapkan teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) serta Carbon, Capture, Utilization, and Storage (CCUS). Teknologi ini memungkinan injeksi CO2 dari kegiatan industri ke dalam reservoir di bawah tanah. Indonesia tercatat memiliki potensi penyimpanan reservoir hingga 400 giga ton. Penyimpanan itu tak hanya dapat dimanfaatkan untuk industri di sektor migas, namun juga untuk semen, industri kimia, dan baja.
Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengatakan, Pertamina bahkan menggandeng Mitsui and Co Ltd untuk mengkaji komersialisasi penerapan teknologi CCUS di wilayah Sumatra bagian tengah. ExxonMobil juga digandeng untuk mengkaji penerapan teknologi CCS dan CCUS di cekungan Sunda-Asri. Kemudian, di lepas pantai Kalimantan, Pertamina bekerja sama dengan Chevron untuk mengembangkan hub CCS Cekungan Kutai.
"Ketiga inisiatif ini dirancang dan direncanakan untuk menjadi hub CCS besar dan mekanisme klaster yang memungkinkan untuk menyimpan CO2 secara signifikan untuk penghasil emisi domestik dan internasional," ujarnya.