Ahad 26 Nov 2023 20:20 WIB

EY Ungkap Hambatan Pengembangan EBT Indonesia

Investor menghadapi kurangnya proyek yang layak karena hambatan kebijakan dan proses.

Red: Fuji Pratiwi
Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTB) (ilustrasi).
Foto: Dok PLN Indonesia Power
Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTB) (ilustrasi).

ESGNOW.ID, JAKARTA -- Lembaga audit internasional Ernst & Young (EY) menyampaikan laporan terbarunya mengenai masalah nonfinansial yang menjadi hambatan utama pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) di Indonesia. Khususnya untuk mengembangkan pembangkit tenaga surya dan angin skala utilitas.

Energy Transition and Climate Partner EY, Gilles Pascual mengungkapkan, investor dan pemberi pinjaman tertarik pada pasar energi terbarukan Indonesia dan siap mengembangkan proyek dan berinvestasi. "Namun ketergantungan pada pembangkit bahan bakar fosil di sektor ketenagalistrikan yang menyebabkan kelebihan pasokan listrik yang sangat besar di jaringan utama Jawa-Madura-Bali menghambat implementasi energi terbarukan," kata Giller dilansir Antara.

Baca Juga

Dalam Media Briefing and Report Launch: Understanding Barriers to Financing Solar and Wind Energy Projects in Asia yang digelar secara daring di Jakarta, baru-baru ini, Gilles menjelaskan, laporan tersebut mengambil data dari 170 konsultasi dengan pengembang, pemberi pinjaman, investor, asosiasi industri, dan Foreign Direct Investment (FDI) di sembilan negara di Asia yang dianalisis, termasuk Indonesia.

Menurut penelitian ini, alih-alih mempermasalahkan pendanaan, investor yang tertarik untuk berinvestasi di energi terbarukan menghadapi kurangnya proyek yang layak karena ada hambatan dalam kebijakan dan proses.

Para pemangku kepentingan itu menyebut kurangnya penggunaan energi terbarukan utamanya akibat tidak memadainya kerangka kebijakan dan investasi di negara-negara tersebut. "Mereka mengatakan kepada kami bahwa mereka tidak memerlukan lebih banyak uang, melainkan memerlukan kerangka kebijakan dan investasi yang disederhanakan dan diperbaiki," ungkap Gilles.

Secara rinci, hambatan khusus yang diidentifikasi untuk Indonesia meliputi pertumbuhan sektor tenaga surya dan angin yang sebagian besar masih bergantung pada pensiun dini pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU), juga kurangnya kejelasan peraturan pengadaan dan prosedur lelang. Selain itu, tarif negosiasi yang rendah mempengaruhi bankability perjanjian jual beli listrik (power purchase agreement/PPA).

Adapun rekomendasi yang diberikan untuk mengatasi hambatan tersebut di antaranya diperlukan sinyal kebijakan yang kuat dan penghentian penggunaan batu bara secara tepat waktu untuk menarik minat pasar. Selanjutnya, mendirikan badan khusus untuk memperlancar proses pengadaan tanah dan mengembangkan model PPA untuk mengurangi jadwal negosiasi.

Untuk mendorong pertumbuhan energi terbarukan, Indonesia perlu memprioritaskan pengembangan jaringan listrik yang permintaannya belum terpenuhi. Apalagi ketika energi terbarukan lebih menguntungkan secara ekonomi ketimbang menggunakan diesel atau bahan bakar fosil lainnya.

"Sedangkan untuk jaringan listrik utama di Jawa Bali, merancang solusi untuk memungkinkan penghentian dini pembangkit bahan bakar fosil adalah suatu keharusan agar pasar energi terbarukan dapat berkembang pesat," ungkap Gilles.

Menurut laporan International Energy Agency (IEA), Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang punya potensi peningkatan kapasitas tenaga surya dan angin hingga tiga kali lipat pada 2030. Indonesia juga memiliki sumber daya angin yang melimpah, yang telah memicu minat besar terhadap potensi pembangkit listrik tenaga angin lepas pantai di Indonesia, bersama dengan Jepang, Korea Selatan, Vietnam, dan Filipina.

 

sumber : ANTARA
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement