ESGNOW.ID, JAKARTA -- Kawasan hutan Amazon dikenal sebagai paru-paru yang diperkirakan dapat menampung 150 miliar karbon dan menjadi hot spot keanekaragaman hayati dan hewani dunia. Seiring dengan perubahan iklim global yang berdampak pada kekeringan ekstrim keberadaan dan fungsi hutan Amazon ini perlahan namun pasti akan terus mengalami degradasi dan jika tidak diambil langkah ekstrim bukan tidak mungkin lenyap dari bumi.
Pakar Genetika Ekologi dari IPB University, Prof Ronny Rachman Noor mengatakan, penyebab utama kehancuran ekosistem hutan Amazon ini adalah aktivitas manusia yang lebih mengedepankan kepentingan ekonomi jangka pendek. Seperti masuknya perusahaan raksasa pertambangan, pertanian dan peternakan yang menyisakan sengsara dan nestapa bagi penduduk asli yang hidupnya tergantung pada keberadaan hutan tropis ini.
“Kerusakan hutan dalam skala besar yang telah terjadi puluhan tahun ini dikombinasikan dengan kekeringan menjadikan hutan Amazon diambang kehancuran yang tidak akan pernah terpulihkan kembali,” kata Prof Ronny seperti dikutip dari keterangan tertulisnya, Sabtu (30/12/2023).
Menurut Prof Ronny, kawasan hutan Amazon menciptakan iklim yang sangat unik di wilayahnya. Pasalnya, air yang menguap dari pepohonan membentuk awan hujan dan mendaur ulang kelembaban yang menyebabkan hutan tetap sejuk dan lembab, sekaligus menyediakan air yang sangat vital bagi kehidupan satwa juga penduduk yang menggantungkan kehidupannya pada hutan tropis ini.
“Kerusakan hutan yang terjadi selama ini membuat hutan terfragmentasi akibat kekeringan dan sebagian telah berubah menjadi savana yang mulai memecah hutan tropis ini. Kematian flora dan fauna hutan tidak akan dapat dipulihkan kembali dan berdampak pada kerusakan permanen,” tutur prof Ronny.
Ia menjelaskan, jika tingkat deforestasi hutan Amazon sudah mencapai 25 persen dan mengalami peningkatan suhu rata rata periode pra industri maka hutan Amazon sudah dalam keadaan kritis. Kondisi saat ini tampaknya sudah mengarah ke titik kritis karena saat ini 17 persen hutan Amazon telah digunduli dan suhu global berada di atas suhu pra industri.
“Data empiris menunjukkan bahwa kekeringan ekstrim tahun ini memicu kebakaran hutan akibat pembukaan lahan yang tidak terkendali. Disamping itu tingkat kematian satwa liar seperti lumba lumba yang menghuni danau di Amazon semakin meningkat akibat suhu air mencapai 40,9 derajat celcius,” ujarnya.
Menurut dia, kekeringan ekstrim yang menimpa Amazon ini telah berdampak langsung pada kehidupan penduduk yang tinggal di kawasan ini karena sumber air dan pangan berkurang drastis hingga terganggunya transportasi akibat sungai yang mengering.
“Kerusakan hutan Amazon akibat aktivitas manusia ini seharusnya dapat menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi Indonesia karena terdegradasinya lingkungan dan hilangnya keanekaragaman hayati dan hewan ini akan berdampak pada kelangsungan hidup generasi mendatang,” ungkap Prof Ronny.