ESGNOW.ID, JAKARTA -- Penggunaan batu bara dengan proses bersih dan ramah lingkungan (clean coal process) harus dimaksimalkan, untuk menekan emisi CO2 dari batu bara, kata Ketua Umum Indonesia Mining Association (IMA) Rachmat Makkasau.
Keberadaan batu bara sebagai energi primer pembangkit listrik di Indonesia diyakini masih berperan penting di tengah maraknya kampanye penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT) pada era transisi energi saat ini.
“Untuk itu kita harus mencari cara Clean Coal Process, sambil tetap menerapkan EBT. Kalau Clean Coal Process dilakukan dan emisi bisa ditekan, bahkan ditiadakan maka tidak ada masalah kan?” ujar Rachmat saat Seminar Energy for Prosperity : The Economic Growth Impacts of Coal Mining yang diselenggarakan Energy and Mining Editor Society (E2S) di Jakarta, Kamis (14/3/2024).
Rachmat Makkasau mengatakan Indonesia dianugerahi cadangan dan sumberdaya batu bara yang masih bisa dimanfaatkan untuk 200-500 tahun mendatang.
Cadangan batu bara nasional saat ini mencapai 35 miliar ton dan sumber daya sebesar 134 miliar ton. Jumlah itu diperkirakan bisa digunakan hingga 500 tahun ke depan jika dilakukan dengan cara yang benar. Bahkan jika sebagian diantaranya diekspor, batu bara nasional bisa dimanfaatkan hingga 200 tahun mendatang.
Rachmat mengatakan sampai saat ini batu bara merupakan energi paling murah dibandingkan yang lain. Apalagi berbagai cara sudah dilakukan industri batu bara untuk mengurangi emisi.
Dia pun membayangkan suatu saat dengan target net zero emission (NZE) sampai 2060 dimana industri sudah menerapkan Carbon Capture, Utilization and Storage (CCUS), teknologi penangkapan emisi NOX (oksida nitrogen) dan lainnya, maka penggunaan batu bara mungkin tidak akan menjadi masalah.
“Kita membayangkan yang terjadi dengan Indonesia kalau 50 tahun lalu semua PLTU di Indonesia tidak ada emisinya, semua karbon yang keluar dari PLTU ditangkap, sulfur NOX ditangkap maka ada apa dengan batu bara, mungkin tidak ada masalah,” ungkap Rachmat.
Pembicara lainnya Irwandy Arif, Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batubara, mengatakan kekayaan mineral dan batu bara nasional mencapai 4 triliun dolar AS yang dua pertiganya berasal dari batu bara.
“Jadi peranan batu bara itu sebenarnya besar kepada penghasilan yang kita dapat,” kata dia.
Menurut Irwandy, industri batu bara memang dibayangi transisi energi, sehingga banyak yang berpikiran peran batu bara akan mengalami penurunan. Padahal, hampir seluruh pembangkit listrik di Jawa berasal dari energi batu bara.
Seiring kehadiran EBT, maka keberlangsungan batu bara dipertanyakan. Kalau skenario biasa sampai 2060 produksi batu bara masih mencapai 720 juta ton. Hal ini tergantung pada perkembangan dari EBT.
Irwandy mengatakan saat ini pemerintah melalui Dewan Energi Nasional (DEN) sudah menurunkan target pemanfaatan EBT pada 2025, dari 23 persen menjadi 17 persen karena realisasinya saat ini baru sekitar 13 persen.
“Jadi ini adalah business as usual. Kemudian ada skenario berikutnya NZE, ternyata produksi batu bara 2060 masih 327 juta ton. Jadi seberapa lama batu bara ini, dalam buku saya mengatakan kurang lebih 40 tahun masih hidup,” katanya.
Irwandy mengatakan tantangan batu bara adalah bagaimana mengurangi emisi CO2. Intinya menjaga lingkungan dengan strategi optimasi penggunaan batu bara dan mencegah emisi CO2 maka muncul lah konsep carbon pricing trading, reklamasi dan sebagainya.
“Batu bara harus menerapkan Clean Coal Technology. Sudah ada 13 PLTU menerapkan teknologi USC dan IGCC. Ini hal positif karena teknologinya mahal sekali,” kata Irwandy.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro mengatakan batu bara memiliki keterkaitan dengan 76 sektor pendukung dari sekitar 186 sektor pendukung di Indonesia.
“Kalau ada investasi 1 akan menghasilkan 5,45 satuan. Artinya, kalau ada Rp1 triliun investasi, maka nilai tambah ekonominya itu sebesar Rp5,35 triliun, kisarannya di situ,” katanya.
Komaidi juga mengungkapkan poin penting batu bara terhadap listrik. Jika melihat biaya pembangkitan per KWh dari angka-angka yang ada maka batu bara yang termurah, bahkan di dalam kelompok energi fosil.
“Sebagian besar produksi listrik kita saat ini sekitar 66,98 persen dari batu bara. Coba diganti PLTU dengan PLTS, akan naik tarifnya 30-an persen. Bahkan dalam realisasinya, kalau backup system dihitung, lebih tinggi lagi biayanya,” ujarnya.
Komaidi mengatakan perlu bijaksana dalam melihat batu bara. Batu bara memang paling kotor dari semua energi fosil, tetapi yang mengubah tatanan ekonomi dan transisi energi dunia adalah teknologi. Jika suatu hari ada teknologi penurunan emisi, masalah batu bara sudah selesai.
“Kita ikut transisi energi, tapi pilihan cara, kita enggak harus didikte negara-negara Eropa. Kita negara kepulauan, banyak argumentasi kenapa kita tidak memaksakan diri tapi tetap harus ikut arus global,” kata Komaidi.