Pada 2019, studi yang dilakukan para peneliti di MIT dan Universitas California mengindikasikan bahwa perubahan iklim akan menimbulkan peningkatan risiko pelaksanaan haji di tahun-tahun mendatang. Studi itu menemukan, kondisi panas dan kelembaban di wilayah Arab Saudi dapat memburuk hingga pada titik di mana orang menghadapi “bahaya ekstrim” dari panasnya cuaca.
Dalam makalah di jurnal Geophysical Review Letters, profesor teknik sipil dan lingkungan MIT Elfatih Eltahir dan dua orang lainnya melaporkan temuan baru, yang menunjukkan risiko yang serius bagi peserta haji tahun itu dan selanjutnya. Selain itu, resiko bahaya juga bisa muncul pada bulan-bulan musim terpanas, yaitu dari 2047 hingga 2052 dan dari 2079 hingga 2086.
Hal ini akan terjadi bahkan jika langkah-langkah substansial diambil untuk membatasi dampak perubahan iklim, demikian temuan studi tersebut. Tanpa upaya menahan perubahan iklim, bahaya yang dihadapi jamaah haji akan lebih besar.
Waktu pelaksanaan haji bervariasi dari satu tahun ke tahun berikutnya, jelas Eltahir, karena didasarkan pada kalender Hijtiyah dan bukan kalender matahari. Setiap tahun haji terjadi sekitar 11 hari lebih awal, jadi hanya ada rentang tahun tertentu yang berlangsung pada bulan-bulan musim terpanas.
Itu adalah saat-saat yang bisa berbahaya bagi peserta, kata Eltahir, Profesor Breene M Kerr di MIT. “Saat musim panas tiba di Arab Saudi, kondisinya menjadi sangat buruk, apalagi sebagian besar aktivitas ini dilakukan di luar ruangan,” katanya.
Menurut para ilmuwan, sudah ada tanda-tanda risiko ini menjadi nyata. Meskipun rincian kejadiannya tidak banyak, telah terjadi peristiwa terinjak-injak yang mematikan selama ibadah haji dalam beberapa dekade terakhir: Salah satunya pada 1990 yang menewaskan 1.462 orang, dan pada 2015 yang menyebabkan 769 orang gugur dan 934 orang terluka. Eltahir mengatakan bahwa kedua tahun ini bertepatan dengan puncak gabungan suhu dan kelembapan di wilayah tersebut, yang diukur dengan “suhu bola basah”.
Menurutnya, tekanan suhu tinggi mungkin berkontribusi terhadap peristiwa mematikan tersebut. “Jika ada kerumunan orang di suatu lokasi,” kata Eltahir, “semakin buruk kondisi cuacanya, semakin besar kemungkinan terjadinya insiden” seperti itu.
Suhu bola basah (disingkat TW), yang diukur dengan menempelkan kain basah ke bola termometer, merupakan indikator langsung seberapa efektif keringat dapat mendinginkan tubuh. Semakin tinggi kelembapannya, maka semakin rendah suhu absolutnya sehingga dapat memicu gangguan kesehatan.
Pada suhu di atas bola basah sekitar 25 derajat Celcius, tubuh tidak dapat lagi mendinginkan dirinya sendiri secara efisien, dan suhu tersebut diklasifikasikan sebagai “bahaya” oleh Layanan Cuaca Nasional AS. Suhu TW di atas sekitar 29,5 derajat Celcius diklasifikasikan sebagai “bahaya ekstrim.” Serangan panas, yang dapat merusak otak, jantung, ginjal, dan otot dapat menyebabkan kematian setelah paparan dalam waktu lama.
Perubahan iklim akan secara signifikan meningkatkan jumlah hari musim panas dimana suhu bola basah di wilayah tersebut akan melebihi batas “bahaya ekstrim”. Bahkan dengan adanya langkah-langkah mitigasi perubahan iklim, Eltahir mengatakan, “kejadian ini masih akan parah. Masalah akan tetap ada, namun tidak seburuk yang akan terjadi jika tidak ada langkah-langkah tersebut.”