ESGNOW.ID, JAKARTA - Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya menjelaskan bahwa aturan ketat terkait nilai ekonomi karbon ditujukan agar memastikan tidak terjadi greenwashing atau memberikan citra praktik ramah lingkungan meskipun faktanya bertolak belakang.
Dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR RI di Jakarta, Senin (2/9/2024), Siti mengatakan instrumen nilai ekonomi karbon Indonesia masuk dalam kategori dengan integritas tinggi atau high integrity carbon mendapatkan apresiasi dari Sekretariat UNFCCC.
"Kalau kita berbicara dan high integrity karena di Sekretariat UNFCCC itu ditegaskan pada bulan Juni kemarin lebih tegas lagi bahwa harus high integrity. Sebab kalau tidak, bisa terjadi greenwashing atau fake carbon atau karbon hantu, itu yang paling ditakuti," jelas Siti Nurbaya dalam rapat kerja yang dipantau secara daring.
Namun di sisi lain, kata Siti, dunia usaha menginginkan mekanisme perdagangan karbon yang jauh lebih mudah dari aturan yang berlaku saat ini, yaitu Peraturan Presiden Nomor: 98 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.
Kebanyakan pelaku dunia usaha menginginkan perdagangan karbon yang tanpa otoritas dan dapat dilakukan langsung transaksi antar-bisnis. Dengan alasan aturan yang ada terlalu rumit dalam pelaksanaannya.
"Dalam konsep karbon karena dia bicara global, antar-negara juga nanti di-record dalam satu sistem, dalam aturan kita Perpres 98 kita menekankan bahwa nilai ekonomi karbon harus dengan pencatatan dalam sistem registrasi nasional," katanya.
Tidak hanya itu, dalam mekanisme nilai ekonomi karbon harus memiliki cara perhitungan dengan metode yang sudah tervalidasi. Dalam aturan yang berlaku, penjualan karbon kepada pihak di luar negeri juga harus memiliki otorisasi dari negara dan baru dapat keluar Sertifikat Penurunan Emisi Indonesia.
Siti mengatakan ketentuan tersebut diberlakukan untuk menghindari adanya karbon palsu atau klaim sudah melakukan pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) tanpa validasi dengan metode yang teruji. Jika hal itu terjadi, maka langkah yang diambil tidak akan berkontribusi dalam upaya mencapai target iklim yang sudah ditentukan oleh Indonesia.