ESGNOW.ID, JAKARTA — Dalam upaya menyoroti peran penting diversifikasi pangan nasional dan rantai nilai yang berkelanjutan dalam menghadapi tantangan perubahan iklim, Koalisi Ekonomi Membumi (KEM) berkolaborasi dengan IdeaFest untuk mengadakan acara inovatif bertajuk Sustainable Plates: Where Local Food Meets Tech, Finance, and Emissions. Acara ini, yang merupakan bagian dari rangkaian IdeaFest 2024, berfokus pada keterkaitan peran teknologi dan pendanaan dalam mendukung produktivitas pangan lokal sebagai upaya pelestarian keanekaragaman hayati dan pengembangan bioekonomi melalui pendekatan restoratif yang dapat menekan emisi karbon.
Panel diskusi ini menghadirkan para pemimpin dan pakar, termasuk Insan Syafaat - Executive Director PISAgro, Nurdana Pratiwi - Enterprise Development Officer EcoNusa, Cindi Shandoval - CEO Pinaloka, Saniy Priscila - Chairperson Pratisara Bumi Foundation (PBF), Rama Manusama - Managing Partner Katalyst Partner, Reihan Adilla - CEO Agrilabs.id, Vivi Laksana - Investment Director Equatora Capital, Sarah Azzahra - Product Specialist Jejakin, dan Fakhri Syahrullah - Partnership & Impact Delivery Lead Jejakin.
Dalam diskusi ini, para narasumber akan membahas bagaimana Indonesia, dengan keanekaragaman hayati dan sumber daya alam yang melimpah dapat menjadi kunci dalam membangun sistem pangan berkelanjutan. Potensi ini tidak hanya memberikan peluang bagi transformasi ekonomi melalui hilirisasi komoditas pangan yang bertanggung jawab, khususnya di sektor industri F&B, tetapi juga sejalan dengan target jangka panjang pemerintah Indonesia yang mengarah pada pengembangan bioekonomi.
Namun, tantangan perubahan iklim dan praktik monokultur yang menyebabkan deforestasi dan kerusakan lahan gambut memperparah emisi karbon. KEM mendorong penerapan praktek agroforestri dan pertanian regeneratif sebagai alternatif berkelanjutan yang dapat mengurangi emisi sekaligus menjaga keseimbangan ekosistem.
Insan Syafaat dari PISAgro menyebutkan ada empat indikator utama ketahanan pangan yaitu availability (ketersediaan pangan), affordability (keterjangkauan), kualitas gizi pangan, dan yang terakhir adalah sustainability (keberlanjutan) yang menentukan apakah pangan masih ada di masa depan.
Saat ini, skala lahan yang dimiliki petani yang relatif kecil mempengaruhi kapasitas produksi mereka, “Saat ini kita berlomba dengan deforestasi dan degradasi lahan yang terus terjadi, karenanya kita butuh teknologi pertanian yang mutakhir & sumber daya manusia yang handal untuk meningkatkan produktivitas lahan dengan metode ramah iklim. Untuk itu, perlu ada kolaborasi agar tercipta dukungan pendanaan & insentif pasar inovatif sebagai motivasi,” ungkap Rama Manusama dari Katalys Partner, dikutip pada Selasa (1/10/2024).
Sejalan dengan Rama, Vivi dari Equatora Capitals juga menyampaikan pertumbuhan minat investor di sektor pertanian sayangnya tidak secepat sektor teknologi lainnya. “Untuk itu pendekatan blended finance-antara sektor dan swasta membantu mengurangi resiko investor dan membuka akses pembiayaan lebih luas - terutama untuk sektor basis lahan seperti pengembangan hilirisasi komoditas.”
Tak hanya teknologi dan pendanaan, infrastruktur dan akses masih menjadi polemik distribusi hasil pertanian petani Indonesia Timur. Sementara bagi petani Indonesia Barat atau wilayah Sumatera, enggan merintis usaha pertanian baru sebagai alternatif.
Kolaborasi Teknologi untuk Pangan Lokal Rendah Emisi Saniy dari Pratisara Bumi Foundation menyebutkan bahwa petani lokal sebetulnya sangat memahami metode, jenis tanaman dan teknologi yang diwariskan turun temurun. Tetapi beberapa jenis teknologi modern malah menimbulkan dampak negatif seperti traktor yang mengurangi kemampuan tanah menyerap air ujar Saniy. Untuk mengatasi hal tersebut Adilla dari Agrilabs menjelaskan pihaknya menerapkan pendekatan teknologi iklim dengan algoritma khusus yang dapat mengoptimalkan parameter-parameter produksi dari pupuk hingga potensi panen.
"Sehingga para petani skala kecil dapat memanfaatkan lahan terbatas dengan perlindungan memadai. Di luar itu, menurut Kementerian Pertanian, sektor pertanian Indonesia berkontribusi sekitar 7-10% dari total emisi gas rumah kaca nasional yang mempercepat perubahan iklim dan mempengaruhi produksi pangan. Emisi dari suplai makanan berasal dari proses di hulu seperti alih fungsi lahan, pertanian dan peternakan serta hilir seperti proses pengolahan, transport, retail dan pengemasan. Jejakin, sebagai Carbon Management Platform turut menerangkan cara melacak dan mengurangi jejak karbon di seluruh rantai pasok pangan kepada seluruh peserta. Pemantauan ini sangat penting untuk bisnis pangan dalam pengambilan keputusan yang lebih ramah lingkungan dan mendorong adopsi teknologi rendah emisi.
Tak hanya sesi panel, acara ini menekankan pentingnya kolaborasi antara pemangku kepentingan di sektor Food & Beverage (F&B), pertanian, teknologi, dan lingkungan untuk mengimplementasikan solusi inovatif yang dapat membantu mengurangi jejak karbon dalam sistem pangan nasional.
Sejalan dengan tema “I”/Saya dari IdeaFest 2024, sektor F&B khususnya pangan berpotensi mendongkrak ekonomi Indonesia sekaligus mempertahankan keberagaman dan identitas bangsa Indonesia. “Kami sudah melihat langsung bagaimana usaha F&B kami - Pinaloka, bisa jadi alasan kabupaten Siak kembali bangga untuk merawat ekosistem gambut lewat komoditas nanas dan warisan budaya pengolahannya. Orang muda juga makin semangat untuk ikut ambil bagian dalam peluang kerja baru ini.” Food - Cindi Shandoval, Pinaloka.
Pengunjung IdeaFest 2024 juga diajak berpetualang ke hutan Kapuas Hulu, Kalimantan Barat lewat Instalasi Interaktif Virtual Reality (VR) yang dikemas oleh Madani Berkelanjutan dan komunitas orang muda Kapuas Hulu, Merapah Banua.