Namun, kebijakan mulai berubah dengan pengakuan peran penting masyarakat adat dalam menjaga lingkungan. Sebuah studi global yang diterbitkan di jurnal Nature Sustainability pada 2021 menemukan di wilayah tropis, lahan yang dikelola oleh masyarakat adat memiliki tingkat deforestasi 20 persen lebih rendah dibandingkan area yang tidak dilindungi.
Pada Konferensi Perubahan Iklim PBB tahun 2021 atau COP26, para pemimpin dunia berjanji akan memberikan pendanaan sebesar 1,7 miliar dolar AS untuk komunitas-komunitas adat, menyebut mereka sebagai "penjaga hutan."
Indonesia, yang memiliki ribuan kelompok etnis dan wilayah hutan tropis seluas lebih dari 350.000 mil persegi, dapat memberikan pelajaran penting tentang bagaimana mendukung masyarakat adat. Pada Desember 2016, Pemerintah Indonesia secara resmi mengakui lebih dari 50 mil persegi hutan hujan sebagai milik sembilan suku adat di negara ini, termasuk Kajang, setelah putusan penting oleh Mahkamah Konstitusi.
"Kita semua tahu sejak lama, masyarakat adat mampu mengelola hutan secara berkelanjutan berdasarkan kearifan lokal," kata Presiden Joko Widodo saat itu.
Sejak 2016, hutan adat yang diakui di Indonesia telah berkembang menjadi lebih dari 580 mil persegi, mencakup lebih dari 100 suku. Pengakuan tersebut membantu menurunkan laju kehilangan hutan primer di Indonesia setiap tahunnya. Data terbaru menunjukkan bahwa laju kehilangan hutan saat ini berada pada tingkat terendah sejak 2002.
Hutan Kajang adalah contoh keberhasilan eksperimen ini. Selama bertahun-tahun, penjaga hutan lokal telah melindungi satwa liar asli, termasuk rusa, monyet, babi hutan, dan burung tropis. Dari atas, rumah-rumah Kajang terlihat seperti titik-titik kecil di tengah hamparan hijau hutan tropis yang luas.
“Kajang memiliki salah satu dari sedikit hutan hujan yang masih tersisa di wilayah tersebut. Itu berkat hukum adat mereka,” kata ahli tenurial tanah Willem van der Muur.
Wilayah Kajang dibagi menjadi 15 desa luar, serta lingkaran dalam yang terdiri dari empat desa yang membentuk wilayah sakral suku tersebut. Falsafah hidup "Kamase Mase", yang berarti hidup sederhana dan mengambil secukupnya untuk subsisten, adalah landasan gaya hidup mereka.
“Selama kita hidup, hutan akan tetap ada,” kata Jaja Tika, seorang penenun yang berusia sekitar 70 tahun.
Sebagian besar hutan Kajang tidak dapat digunakan, kecuali untuk keperluan tertentu seperti ritual dan pengambilan kayu untuk membangun rumah. Pemimpin mereka, Ammatoa, memastikan aturan ini ditegakkan, dan pelanggar akan menghadapi denda atau bahkan diusir dari komunitas.
Ancaman terhadap hutan Kajang tidak hanya datang dari dalam, tetapi juga dari perusahaan luar. Salah satu konflik paling serius terjadi pada 2003 ketika PT London Sumatra (LONSUM), perusahaan perkebunan karet, mencoba mengambil alih tanah mereka. Polisi menembaki para demonstran, menewaskan empat orang dan melukai sedikitnya 20 lainnya.
Namun, ancaman lainnya adalah modernisasi. Generasi muda mulai pergi ke kota untuk belajar, menggunakan ponsel, dan mengenakan pakaian yang diproduksi secara massal. Namun, beberapa masih bertekad untuk mempertahankan tradisi mereka.
Ramlah, putri Ammatoa, yang berusia 38 tahun, memilih untuk kembali ke desanya setelah lulus kuliah dan membantu memimpin koperasi tenun perempuan yang menjual sarung buatan tangan di pasar lokal.
Meskipun modernitas mulai merambah komunitas mereka, Ramlah dan banyak anggota suku lainnya percaya bahwa keseimbangan antara hukum adat dan nasional dapat menguatkan masyarakat mereka. "Yang paling penting dalam hidup adalah hutan," katanya.