ESGNOW.ID, BAKU -- CEO Pertamina New & Renewable Energy (NRE) John Anis menyoroti peran penting dan tantangan yang dihadapi Pertamina dalam mendukung transisi energi menuju nol-emisi. Pertamina, menurut Anis, memiliki mandat untuk mendorong dekarbonisasi nasional sambil mempertahankan pertumbuhan dan ketahanan energi di Indonesia.
“Jadi ini adalah salah satu mandat pertama dan utama untuk mendukung dekarbonisasi negara. Tentu saja, juga pertumbuhan dan ketahanan energi. Di saat yang sama, mengingat Pertamina memiliki banyak bisnis hulu yang masih di bahan bakar fosil, maka kami harus memulai bisnis baru untuk masa depan perusahaan sendiri," kata Anis di panel diskusi "Driving the Renewable Revolution: Unleashing Indonesia Renewable Energy Ambition" di Paviliun Indonesia pada Pertemuan Perubahan Iklim PBB (COP29) Rabu (13/11/2024).
Strategi yang dijalankan, lanjutnya, adalah strategi pertumbuhan ganda yang menyeimbangkan kebutuhan bahan bakar fosil lebih bersih sembari mengembangkan energi hijau.
Salah satu upaya dekarbonisasi internal Pertamina, lanjut Anis, mendapat pengakuan dari pihak ketiga dengan peringkat ESG 20,7 – peringkat pertama di sub-industri minyak dan gas terintegrasi. Ini menunjukkan upaya yang signifikan dalam pengelolaan risiko menengah hingga rendah terkait dampak lingkungan.
Namun, Anis mengungkapkan sejumlah tantangan besar dalam transisi energi Indonesia. Tantangan utama adalah ketidaksesuaian antara sumber energi terbarukan dan lokasi permintaan energi. “Karena, Anda tahu, sebagian besar energi terbarukan, mereka bisa menghasilkan secara in situ. Sebagai contoh, saya tidak bisa memindahkan panas bumi dari Kamojang ke Cirebon. Itu harus diproduksi secara in situ. Hal ini membutuhkan infrastruktur tambahan, yaitu transmisi,” jelasnya.
In situ Power Generation mengacu pada proses menghasilkan energi listrik di lokasi atau tempat yang sama di mana energi itu akan digunakan. Berbeda dengan pembangkitan listrik di pembangkit listrik besar yang kemudian didistribusikan melalui jaringan listrik ke berbagai lokasi.
Anis mengatakan keterjangkauan teknologi juga menjadi tantangan, terutama untuk hidrogen hijau. “Kami terus mencari teknologi yang lebih murah dan efisien untuk mempercepat transisi ke energi hijau, termasuk hidrogen,” tambahnya.
Dalam konteks ini, biaya dan teknologi yang tinggi memerlukan terobosan agar hidrogen hijau dapat diproduksi lebih murah. Pembiayaan proyek percontohan dan proyek skala besar juga menjadi tantangan lainnya. Anis menjelaskan pembiayaan yang kompetitif sangat dibutuhkan untuk membuat energi hijau lebih terjangkau.
“Pendanaan untuk proyek uji coba sangat krusial, dan pembiayaan yang kompetitif akan membuat proyek energi terbarukan lebih menguntungkan.”
Selain itu, kerangka regulasi juga memainkan peran penting dalam mendukung transisi energi. Walaupun pemerintah telah memberikan berbagai dukungan dan insentif, Anis menyebutkan beberapa masalah regulasi yang masih perlu disesuaikan, termasuk pajak terkait produk biofuel.
Pertamina juga berusaha mengatasi keterbatasan sumber daya manusia dalam industri energi hijau dengan mengirim karyawan untuk belajar di luar negeri dan menjalin kerja sama dengan industri global. “Kami berusaha proaktif agar SDM kami bisa mendapatkan keterampilan terbaik dan kembali ke Indonesia untuk mengembangkan bisnis energi hijau,” kata Anis.
Dengan tantangan-tantangan ini, Anis menegaskan ambisi Pertamina untuk meningkatkan portofolio energi terbarukan menjadi 6 gigawatt pada 2030 dari kapasitas saat ini 2,6 gigawatt. Untuk mencapainya, Pertamina menargetkan investasi sebesar 6 miliar dolar AS. Pertamina juga berencana meningkatkan kapasitas panas bumi dari 672 megawatt saat ini menjadi 3 gigawatt pada 2032.
Selain panas bumi, Pertamina juga mengembangkan bisnis hidrogen hijau dengan menjalankan proyek percontohan dan bekerja sama dengan pemerintah dalam aspek regulasi dan keamanan. “Kami berencana meluncurkan dua hingga tiga proyek pilot hidrogen hijau yang menggunakan panas bumi sebagai sumber energinya,” kata Anis.
Proyek ini diharapkan bisa mempercepat transisi transportasi ke bahan bakar yang lebih bersih.
Pengembangan bahan bakar nabati juga menjadi salah satu fokus Pertamina dalam mendukung ketahanan energi. Untuk biodiesel, Pertamina telah berhasil mengurangi impor diesel dengan mencakup 35 titik distribusi biodiesel di Indonesia. Di sisi lain, Pertamina kini mengembangkan produksi biothanol dengan bahan baku non-pangan seperti molase, hasil samping dari produksi gula yang tidak bersaing dengan pangan.
Anis menekankan pentingnya menjaga ketahanan pangan dalam memilih bahan baku biofuel. “Kami berusaha memastikan bahan baku biofuel tidak mengganggu produksi pangan, dan kami bekerja sama dengan PTPN untuk mengembangkan bioetanol dari molase,” jelasnya.
Pertamina juga menjalin kerja sama dengan MIND ID dalam pengembangan baterai berbasis nikel untuk mendukung sektor transportasi dan penyimpanan energi. “Baterai sangat diperlukan tidak hanya untuk mobil, tetapi juga untuk menyimpan energi dari panel surya agar bisa menyediakan beban dasar,” ujar Anis.
Pada sisi lain, Pertamina juga tengah meningkatkan portofolio perdagangan karbon sebagai bagian dari strategi dekarbonisasi. “Kami memiliki dua sumber sertifikat karbon – solusi berbasis teknologi dari green plant kami dan solusi berbasis alam yang bekerja sama dengan Perhutani,” kata Anis.
Sertifikat karbon ini diharapkan dapat membantu industri-industri dalam mengimbangi emisi mereka. Selain itu, Anis menegaskan Pertamina terus berkomitmen menyediakan energi bersih dan andal untuk pasar domestik maupun internasional. “Kami mendukung kebutuhan energi domestik sebagai prioritas utama, tetapi juga memperluas ke pasar internasional sebagai bukti bahwa kami adalah pemain global dalam energi bersih,” kata Anis.
Dalam menghadapi tantangan besar di sektor energi terbarukan, Pertamina optimistis dengan kolaborasi dan dukungan dari berbagai pihak. Dengan potensi yang dimiliki, Anis percaya Indonesia dapat mengatasi hambatan-hambatan yang ada dan mencapai ambisinya sebagai negara dengan energi hijau berkelanjutan.