ESGNOW.ID, JAKARTA -- Dalam Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2025, lembaga think-tank Institute for Essential Services Reform (IESR) menyoroti bahwa transisi energi di Indonesia belum membuahkan hasil, meskipun pemerintah berjanji untuk melakukan pengurangan emisi dan meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan. IESR mengatakan pada kenyataannya, bauran energi fosil Indonesia terus naik, bahkan pasokan listrik dari PLTU mencapai tingkat tertinggi dalam lima tahun terakhir.
Sementara, pertumbuhan energi terbarukan jauh lebih rendah. Selain itu, intensitas energi juga masih di bawah target yang ditetapkan dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN). IESR menyatakan, UU Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 dengan transisi energi sebagai salah satu tujuan utamanya, seakan dimentahkan oleh KEN baru.
KEN justru menurunkan target bauran energi terbarukan menjadi 17-19 persen pada 2025 dan target di 2045. Selain itu, sebagian besar proyek pembangkit energi terbarukan yang harus dieksekusi 2021-2025 belum dilelang, konstruksi dan beroperasi. Hingga 2024, capaian target bauran energi terbarukan hanya berkisar di 13,1 persen, padahal target semula adalah 23 persen di 2025.
IESR menilai transisi energi di Indonesia berada di persimpangan jalan antara tetap mengakomodasi kepentingan ekonomi dan politik dari industri fosil, atau segera beralih ke energi terbarukan dan membangun ekonomi rendah karbon. IESR mencatat keragu-raguan dalam menentukan arah dan laju transisi energi dapat mengancam pencapaian target net zero emission (NZE) sebelum 2050, seperti yang ditargetkan Presiden Prabowo dalam pernyataannya pada KTT G20 di Brasil, sekaligus melemahkan peluang Indonesia menjadi pemain utama di pasar energi terbarukan global.
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengungkapkan transisi energi pada 2024 masih dalam tahap konsolidasi sebagai hasil pergantian kepemimpinan nasional dengan target dan prioritas baru dan kondisi ketidakpastian ekonomi global dan Indonesia. Berdasarkan pengukuran kesiapan bertransisi (Transition Readiness Framework/TRF) yang dikembangkan IESR sejak 2022, konsistensi kebijakan dan kepemimpinan dipandang para pelaku bisnis sebagai salah satu penghambat terbesar dalam agenda transisi energi di Indonesia.
Hal yang sama juga terpantau di TRF 2024, Meskipun terjadi kemajuan signifikan dalam daya saing biaya teknologi dan bahan bakar rendah karbon, transisi energi masih terhambat oleh kurangnya komitmen politik, regulasi yang kurang menarik, dan tata kelola yang tidak mendukung.
Fabby mengatakan tahun 2025 menjadi titik kritis untuk merumuskan strategi dan kebijakan yang reformatif untuk mempercepat transisi energi yang adil dan efisien. Ia juga menyinggung strategi pemerintah yang cenderung berfokus pada teknologi penyimpanan dan penangkapan karbon (CCS/CCUS) yang belum matang, mahal dan berisiko, dibandingkan teknologi energi surya, dan angin, serta battery atau penyimpan energi yang sudah tersedia di pasar dan harganya semakin kompetitif.
Sementara, banyak negara di dunia telah berkomitmen pada COP-28 tahun 2023 untuk berkontribusi pada upaya global untuk menggandakan efisiensi energi (double down) dan meningkatkan tiga kali lipat (triple up) pada 2030. Komitmen tersebut akan memperbesar peluang investasi dan pendanaan untuk energi terbarukan dan efisiensi energi.
“Kabar baiknya, Presiden Prabowo Subianto dalam forum KTT G20 Brazil menyatakan bahwa Indonesia akan mengakhiri PLTU batu bara pada 2040. Hal ini sesungguhnya sejalan dengan amanat di dalam Perpres 112/2022 untuk mempensiunkan PLTU batu bara lebih awal dari umur keekonomiannya," kata Febby dalam peluncuran IETO 2025 (5/12/2024).
Febby mencatat di pertemuan tingkat tinggi APEC, Prabowo menyatakan Indonesia akan mencapai 100 persen energi terbarukan dalam 10 tahun dari sekarang. Menurutnya, target itu tidak mustahil jika dilengkapi dengan upaya melakukan reformasi kebijakan, regulasi besar-besaran dan perencanaan sistem ketenagalistrikan yang terpadu. "Sehingga dapat memastikan ketahanan energinya dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi 8 persen, seperti yang dicita-citakan Pemerintahan Presiden Prabowo,” tambahnya.