Senin 23 Dec 2024 12:14 WIB

Ketika Cabai tak Lagi Pedas Akibat Perubahan Iklim

Cuaca ekstrem melanda berbagai ladang pertanian di Asia Tenggara tahun ini.

Rep: Lintar Satria / Red: Satria K Yudha
Pedagang cabai rawit sebelum di jual di Pasar Induk Kramatjati, Jakarta, Rabu (4/12/2024).
Foto: Republika/Thoudy Badai
Pedagang cabai rawit sebelum di jual di Pasar Induk Kramatjati, Jakarta, Rabu (4/12/2024).

ESGNOW.ID,  Selama tiga generasi, keluarga Ken Koh membeli berbagai jenis cabai dari pemasok yang sama untuk membuat salah satu produk sambal paling laris di Singapura. Di pabrik tiga lantainya, sekelompok orang yang terdiri dari empat orang memotong, mencampur, dan memasak cabai.

Di dalam pabrik itu terdapat tulisan dalam bahasa Cina: "Makanan adalah nyawa manusia, saus adalah nyawa makanan." Tapi kuartal terakhir tahun ini Koh terpaksa memangkas produksi saus cabainya hingga 25 persen. Ia kesulitan memasok saus-sausnya ke pasar-pasar swalayan setempat. Perusahaannya, Nanyang Sauce, juga menghentikan produksi saus tiga cabai khusus yang dinamakan "Spice of Life."

Perubahan iklim menjadi alasan terbesar masalah Koh. Cuaca ekstrem melanda berbagai ladang pertanian di Asia Tenggara tahun ini, mengganggu pasokan, menaikan harga dan membuat cabai kurang pedas.

Ilmuwan mengatakan masalah ini tidak terjadi satu waktu, tapi akan berlangsung dalam waktu lama. Curah hujan tidak menentu juga menimbulkan dampak serupa pada komoditas lainnya. Kopi tumbuh semakin pahit dan rasa kelapa semakin hambar. Sementara, kenaikan suhu berdampak pada kualitas dan kuantitas kubis Napa, bahan utama hidangan populer Korea, kimchi.

“Nikmatilah cabai Anda selagi masih ada karena kita tidak tahu kapan akan habis,” kata Koh, seperti dikutip dari Bloomberg, Senin (23/12/2024).

Cabai merupakan buah beri atau buah dari tanaman dari genus Capsicum dan digunakan sebagai bumbu dalam masakan di seluruh dunia. Diperkirakan memiliki 4.000 varietas, termasuk jalapeño, habanero, dan bird's eye, yang bervariasi berdasarkan warna, ukuran, dan tingkat kepedasannya.

Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) mencatat mulai dari cabai yang ditumbuhkan petani-petani kecil di Meksiko sampai produsen besar seperti Huy Fong Foods Inc., yang memproduksi saus terkenal Sriracha di Amerika Serikat (AS), nilai perdagangan cabai di seluruh dunia mencapai 9 miliar dolar AS per tahun. Data FAO menunjukkan 70 persen cabai di seluruh dunia berasal dari Asia.

Kepedasan cabai berasal dari sekelompok alkaloid penghasil panas, termasuk capsaicin yang terdapat dalam buah cabai. Kondisi yang lebih panas dan kering biasanya meningkatkan tingkat kepedasan cabai. Namun, kondisi pertumbuhan yang ideal semakin sulit ditemukan karena perubahan iklim meningkatkan frekuensi cuaca ekstrem seperti kekeringan dan banjir, serta memperkuat intensitas curah hujan.

"Saat tanaman menyerap kelembapan ekstra ini, menyimpannya di daging buah cabai, (kini) tiba-tiba rasa pedasnya berkurang," kata agroekolog AS Kraig Kraft.

Kraft salah satu penulis buku Chasing Chiles yang mengungkapkan dampak perubahan iklim pada tanaman cabai. Kekeringan dan suhu panas yang ekstrem juga dapat membuat tanaman muda stres, sehingga tanaman tidak dapat berbunga.

Surat kabar AS, Washington Post melaporkan kekeringan parah di Meksiko tahun ini mengurangi pasokan cabai jalapeño merah musim dingin. Sehingga memaksa Huy Fong Foods menghentikan produksi pada bulan Mei. "(Cabai) sangat sensitif pada perubahan cuaca," kata ilmuwan dari  Dr. Rajendra Prasad Central Agricultural University di India, Karma Bhutia.

Bhutia meneliti dampak perubahan iklim pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman cabai. Ia mengatakan cabai biasanya tumbuh dengan baik dengan suhu antara 25 sampai 30 derajat Celsius.

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement