Jumat 24 Jan 2025 11:00 WIB

Hutan Pangan dan Energi tak Tebang Pohon, Ini Penjelasan Menhut

Pemanfaatan hutan untuk pangan akan menggunakan konsep agroforestri.

Red: Satria K Yudha
Petani gaharu menunjukan bibit pohon gaharu di Desa Tanjung Belit, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar, Riau, Rabu (11/12/2024).
Foto: Republika/Thoudy Badai
Petani gaharu menunjukan bibit pohon gaharu di Desa Tanjung Belit, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar, Riau, Rabu (11/12/2024).

ESGNOW.ID,  JAKARTA -- Menteri Kehutanan (Menhut) Raja Juli Antoni menegaskan bahwa rencana pemanfaatan hutan seluas 20,6 juta hektare (ha) untuk cadangan pangan, energi, dan air, tidak dilakukan dengan cara membuka lahan baru atau deforestasi. Sebaliknya, program itu akan merehabilitasi hutan bekas tebangan dan bekas kebakaran hutan.

"Jadi saya tegaskan, areal hutan cadangan pangan, energi, dan air, tidak dilakukan dengan cara membuka hutan baru atau deforestasi," kata Menhut saat Rapat Kerja dengan Komisi IV DPR RI di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (23/1).

Baca Juga

Dia menyampaikan bahwa kawasan hutan baik produksi maupun lindung saat ini terindentifikasi dalam kondisi terbuka karena logged over area (LOA) atau hutan bekas tebangan dan bekas kebakaran hutan luasnya kurang lebih tercatat 20,6 juta hektare. Ia mengatakan, lahan tersebut dapat dioptimalkan dan berproduksi sebagai hutan cadangan pangan, energi, dan air.

Dia menuturkan bahwa area itu akan dipulihkan melalui program rehabilitasi dan lahan dengan pola agroforestri atau multi-usaha kehutanan (MUK). Hal ini, kata Antoni, merupakan optimalisasi fungsi hutan sebagai hutan cadangan pangan dan energi, serta air.

"Saya tegaskan kembali, di areal 20,6 juta hektare ini, tidak dengan membuka hutan atau deforestasi, melainkan diharapkan justru menyempurnakan pola food estate yang pada saat ini sedang digulirkan oleh pemerintah," ucap dia.

Dia menjelaskan pemerintah akan melakukan agroforestri atau pola tumpang sari sehingga tidak mengorbankan hutan, tetapi justru mengoptimalkan fungsi hutan. Agroforestri merupakan sistem pengelolaan lahan yang mengintegrasikan pohon-pohon dengan tanaman pertanian atau peternakan di dalam satu unit pengelolaan yang sama. Tujuan utama agroforestri adalah untuk meningkatkan keberlanjutan produksi pertanian, meningkatkan biodiversitas, dan mengurangi erosi tanah.

"Dengan pola agroforestri atau tumpang sari dalam satu hamparan, selain ditanam tanaman pokok atau pohon dengan jenis MPTF atau Multipurpose Tree Species, dan tanaman buah-buahan, dapat juga ditanami tanaman musim seperti padi gogo dan jagung," kata Antoni.

Menurutnya, dengan sistem itu, pemerintah ingin mendorong agar mencapai swasembada pangan. Dia mencontohkan, jika dilakukan pola tumpang sari untuk penanaman padi di 1 juta hektare lahan, maka akan menghasilkan 3,5 juta ton beras setara dengan jumlah impor Indonesia, dan 1,5 juta ton jagung.

"Seperti kita ketahui, impor padi atau beras pada tahun 2023 sekitar 3,5 juta ton. Kalau seandainya kita maksimalkan fungsi hutan kita dengan tadi hutan cadangan pangan energi dan industri, dengan memproduksi 1 hektare dapat memproduksi 3,5 ton beras," kata Antoni.

"Jadi kalau kita tanam menggunakan lahan kehutanan seluas 1 juta hektare, maka kita tidak perlu impor lagi karena sudah bisa menutupi kekurangan 3,5 juta ton beras tersebut," tambah Antoni.

 

 

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement