ESGNOW.ID, JAKARTA — Suhu global pada tahun 2024 mencetak rekor baru, naik 1,55 derajat Celsius di atas rata-rata masa pra-industri. Data ini diungkapkan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) pada awal 2025 dan menjadi sinyal bahaya terhadap upaya global membatasi pemanasan bumi sesuai target Perjanjian Paris.
Anggota Direktorat Perubahan Iklim BMKG, Alif Akbar, mengonfirmasi bahwa 2024 merupakan tahun terpanas dalam sejarah pencatatan suhu global. Bahkan, periode 2015–2024 tercatat sebagai dekade terpanas yang pernah terjadi. Kondisi ini turut memicu peningkatan tajam frekuensi serta intensitas fenomena cuaca dan iklim ekstrem di berbagai belahan dunia.
“Semakin panasnya suhu bumi akan memicu cuaca dan iklim ekstrem yang lebih dahsyat dan intens,” ujar Alif dalam diskusi daring bertajuk “Cengkrama Iklim”, Rabu (16/4/2025).
Menurut Alif, tren kejadian cuaca ekstrem mengalami lonjakan tajam dalam beberapa dekade terakhir. Jika pada 1970-an tercatat sekitar 100 kejadian ekstrem per tahun secara global, maka pada awal 2000-an angka ini melonjak menjadi lebih dari 400 kejadian per tahun. Perubahan ini menunjukkan bahwa krisis iklim telah menjadi masalah lintas kawasan yang berdampak luas bagi kehidupan manusia.
Di Indonesia, dampak pemanasan global sangat terasa, terutama dalam bentuk bencana hidrometeorologi yang terjadi nyaris tanpa henti sepanjang tahun. Kalender bencana nasional mencatat banjir, tanah longsor, gelombang tinggi, hingga kekeringan terus terjadi bergantian mengikuti pola musim.
“Bencana hidrometeorologi di Indonesia tidak pernah libur. Ancaman ini bisa muncul kapan saja, sepanjang tahun,” tegas Alif.
Ia menjelaskan bahwa pada bulan-bulan seperti Desember, Februari, dan Juni, wilayah Indonesia sangat rentan terhadap banjir dan tanah longsor akibat curah hujan tinggi serta gelombang laut besar. Sementara saat masa peralihan musim, seperti Maret hingga Mei, kerap muncul fenomena ekstrem seperti angin puting beliung, petir, hingga hujan es.
Di musim kemarau, antara Juni hingga Agustus, ancaman berubah menjadi kekeringan berkepanjangan dan kebakaran lahan pertanian, yang dapat berdampak besar terhadap ketahanan pangan dan ekonomi masyarakat.
Alif juga menyoroti pengaruh fenomena iklim global dan regional seperti El Nino Southern Oscillation (ENSO), Indian Ocean Dipole (IOD), suhu muka laut, serta pola angin monsun terhadap dinamika cuaca di Indonesia.
ENSO dikenal melalui siklus El Niño dan La Niña, yang secara signifikan mengubah pola curah hujan nasional. Sementara IOD, yang terjadi di Samudera Hindia, turut memengaruhi intensitas dan distribusi hujan di wilayah Asia Tenggara.
Ia mencontohkan banjir besar yang melanda Jakarta pada Januari 2020, yang terjadi akibat kombinasi dari beberapa fenomena pengendali iklim sekaligus.
“Saat itu ada pengaruh dari MJO (Madden-Julian Oscillation), angin monsun, serta cold surge atau lonjakan udara dingin, yang semuanya berkontribusi terhadap curah hujan ekstrem,” jelas Alif.
Dengan kondisi iklim yang kian tak menentu dan intensitas bencana yang meningkat, para ahli menyerukan perlunya upaya adaptasi dan mitigasi yang lebih serius, baik oleh pemerintah, dunia usaha, maupun masyarakat luas, untuk menghadapi krisis iklim yang kian nyata.