Ahad 11 May 2025 16:02 WIB

Generasi Muda Hadapi Risiko Tertinggi dari Krisis Iklim

Orang dewasa punya tanggung jawab moral untuk melindungi anak-anak.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Sejumlah pelajar berjalan menyusuri hutan saat mengikuti kegiatan terapi hutan untuk anak dan remaja di kawasan Hutan Plumbon, Ngaliyan, Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (10/5/2025). Kementerian Sosial, PMI Kota Semarang, dan ChildFund International menggelar kegiatan tersebut sebagai bagian dari program kampung iklim, yang menjadi solusi penguatan ketahanan iklim perkotaan, khususnya dalam aspek kesehatan mental masyarakat.
Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
Sejumlah pelajar berjalan menyusuri hutan saat mengikuti kegiatan terapi hutan untuk anak dan remaja di kawasan Hutan Plumbon, Ngaliyan, Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (10/5/2025). Kementerian Sosial, PMI Kota Semarang, dan ChildFund International menggelar kegiatan tersebut sebagai bagian dari program kampung iklim, yang menjadi solusi penguatan ketahanan iklim perkotaan, khususnya dalam aspek kesehatan mental masyarakat.

ESGNOW.ID,  BRUSSELS — Anak-anak yang lahir setelah tahun 2020 diperkirakan akan menghadapi gelombang panas ekstrem dalam skala yang belum pernah dialami generasi sebelumnya. Penelitian terbaru menegaskan bahwa beban perubahan iklim akan paling berat ditanggung oleh generasi muda saat ini.

Dipublikasikan di jurnal Nature pada 7 Mei, studi tersebut menunjukkan bahwa dampak perubahan iklim dalam 75 tahun ke depan sangat bergantung pada skenario pemanasan global yang terjadi. Jika proyeksi paling pesimis terbukti benar, maka 92 persen anak-anak yang saat ini berusia lima tahun akan mengalami paparan panas ekstrem sepanjang hidup mereka.

Baca Juga

Sebagai perbandingan, hanya sekitar 16 persen orang yang lahir pada 1960 yang menghadapi risiko serupa, dalam skenario apa pun.

Temuan ini mempertegas ketimpangan generasional dalam menghadapi krisis iklim. “Banyak orang seusia saya yang memiliki anak kecil, dan bagi mereka proyeksi ini sangat mengkhawatirkan,” kata Wim Thiery, ilmuwan iklim dari Vrije Universiteit Brussels yang juga salah satu penulis studi, dikutip dari Scientific American, Ahad (11/5/2025).

Meski gagasan bahwa generasi muda menanggung beban terberat dari krisis iklim bukan hal baru, studi ini menjadi salah satu yang pertama mengukur seberapa besar beban tersebut, serta siapa yang paling terdampak. Peneliti mendefinisikan paparan cuaca ekstrem “yang belum pernah terjadi sebelumnya” sebagai ambang batas yang secara statistik hanya memiliki peluang 1 banding 10.000 terjadi di dunia tanpa perubahan iklim.

Dengan model iklim canggih, Thiery dan timnya menghitung ambang batas ini berdasarkan wilayah serta jenis cuaca ekstrem, seperti gelombang panas, banjir, dan kebakaran hutan.

Di Brussels, misalnya, ambang batas tersebut setara dengan mengalami enam gelombang panas ekstrem sepanjang hidup, peristiwa yang dalam kondisi iklim normal hanya terjadi sekali dalam seabad.

Dengan menggabungkan data demografi global, para peneliti menghitung proporsi populasi yang akan melewati ambang batas ini berdasarkan tahun kelahiran dan skenario iklim.

Dari 81 juta orang yang lahir pada 1960, hanya 13 juta (16 persen) yang diperkirakan akan menghadapi tingkat paparan panas ekstrem tersebut. Namun, dari 120 juta anak yang lahir pada 2020, sekitar 58 juta (50 persen) akan mengalami paparan serupa bahkan dalam skenario optimis, yaitu kenaikan suhu global 1,5 derajat Celsius pada 2100.

Dalam skenario pemanasan 3,5 derajat Celsius, 92 persen anak-anak yang kini berusia lima tahun—sekitar 111 juta jiwa—akan terdampak sepanjang hidup mereka. Beban ini juga tidak merata karena anak-anak dari kelompok miskin paling rentan terhadap paparan cuaca ekstrem.

“Selain ketimpangan antar generasi, ada juga ketimpangan antar kelompok masyarakat dalam menghadapi dampak perubahan iklim,” tegas Thiery. Ia menilai hasil penelitian ini lebih konkret dibanding studi sebelumnya karena menyoroti dampak langsung terhadap kehidupan anak-anak.

Psikoterapis dari University of Bath, Caroline Hickman, yang meneliti kecemasan anak muda terhadap krisis iklim, mengatakan generasi tua cenderung meremehkan risiko karena tidak menghadapi ancaman serupa. Ia berharap studi ini dapat mengubah sikap tersebut.

“Orang dewasa punya tanggung jawab moral untuk melindungi anak-anak. Mengabaikan perubahan iklim berarti gagal menjalankan kewajiban itu,” ujarnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement