ESGNOW.ID, JAKARTA — Pengelolaan keanekaragaman hayati di Indonesia dinilai perlu mencontoh pendekatan negara-kota seperti Singapura. Hal ini disampaikan Guru Besar Departemen Biologi FMIPA Universitas Indonesia, Jatna Supriatna, dalam diskusi daring bertajuk Keanekaragaman Hayati dalam Aksi Pengendalian Perubahan Iklim yang diselenggarakan Kementerian Lingkungan Hidup, Rabu (28/5/2025).
Menurut Jatna, pelestarian keanekaragaman hayati tidak hanya bisa dilakukan di kawasan hutan, tetapi juga dapat dikembangkan di desa maupun kota. Ia mencontohkan keberhasilan Singapura sebagai negara-kota yang mampu mengintegrasikan biodiversitas dalam perencanaan tata ruangnya.
“Sekarang kita lihat Singapura, ya. Singapura itu kota. Tetapi, dia sebagai negara atau kota mempunyai pengelolaan keanekaragaman hayati terbaik di dunia,” kata Jatna.
Ia menjelaskan bahwa Singapura telah merancang kota dengan konsep yang tidak terpisah dari alam. Ruang terbuka hijau, taman kota, dan jalur hijau terkoneksi langsung dengan permukiman hingga kawasan hutan.
“Mereka betul-betul bangun keanekaragaman hayatinya. Baik dari tingkat bawah, seperti keanekaragaman di bawah tanah, keanekaragaman serangga, hingga keanekaragaman yang lebih tinggi, burung, mamalia, dan sebagainya,” jelasnya.
Ia menilai kota yang mampu menyatu dengan alam akan menjadi kota yang nyaman dan sehat untuk dihuni. “Di tengah kota itu mereka bisa lihat burung-burung yang sangat baik,” ujarnya.
Menurut Jatna, Indonesia memiliki potensi besar, namun belum memiliki desain tata kota yang mendukung pelestarian hayati secara menyeluruh. Ia juga menyoroti berbagai wilayah yang rawan terhadap perubahan iklim, seperti ekosistem gambut di Sumatera dan Kalimantan.
“Kita sudah banyak sekali yang melakukan, misalnya daerah gambut, ya. Gambut itu kan 8 juta hektare di Kalimantan, sekitar mungkin 11 juta hektare di Sumatera Barat,” katanya.
Ia menyebutkan dalam Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) sudah terdapat peta wilayah yang rawan terhadap dampak perubahan iklim, seperti kenaikan muka air laut, kebakaran hutan, dan cuaca ekstrem. Namun, implementasi perlindungan di lapangan masih belum optimal.
“Kita harus betul-betul prediksi berbagai macam sensitivitas itu,” ujarnya.
Jatna juga mengkritisi rendahnya pemahaman publik terhadap arti penting keanekaragaman hayati yang selama ini dianggap sebagai isu ilmiah yang jauh dari kehidupan sehari-hari.
“Kita hidup tergantung biodiversitas. Kita makan dari biodiversitas, Tempe, tahu, daging, semuanya itu adalah biodiversitas,” jelasnya.
Ia menekankan pentingnya harmonisasi antara ruang hidup manusia dan kelestarian hayati. Salah satu potensi yang bisa dikembangkan adalah sektor perikanan. Namun, ia menyayangkan bahwa sebagian besar ikan konsumsi justru bukan berasal dari spesies lokal Indonesia.
“25 persen ikan itu ada di Indonesia. Tapi kenapa kita memakan ikan gurame, ikan mas, ikan lele juga bukan lele kita, lele dumbo itu berasal dari Thailand. Gurame berasal dari Asia Tengah, Cina. Sepat, kemudian tilapia, mujair itu juga berasal dari Afrika. Kenapa yang dari Indonesia tidak dibudidayakan dengan baik? Ini menjadi pertanyaan besar,” katanya.
Ia mencontohkan keberhasilan budidaya ikan endemik Indonesia, seperti ikan dewa (Neolissochilus soro), yang dikembangkan melalui kolaborasi mahasiswa dan masyarakat. “Mahasiswa saya bisa membudidayakan itu dengan belajar dari masyarakat,” ujarnya.
Jatna menekankan pentingnya membatasi eksploitasi alam agar spesies lokal tidak punah. Ia menyoroti kasus ikan belida di Sumatera yang populasinya terus menurun karena tidak sempat bereproduksi.
“Sudah semakin sedikit yang bisa diambil dari alam, karena dia tidak sempat reproduksi,” katanya.
Selain itu, ia mengingatkan ancaman kebakaran hutan yang diperkirakan meningkat dalam dua tahun mendatang akibat fenomena El Nino. “El Nino itu peristiwa dimana kita kekeringan karena di Samudra Pasifik itu dan terjadi perubahan-perubahan permukaan suhu,” jelasnya.
Metode pencegahan kebakaran seperti yang diterapkan di Brasil, menurutnya, bisa diadopsi oleh Indonesia. Jatna juga menyampaikan keprihatinan terhadap populasi badak Kalimantan yang kini berada di ambang kepunahan.
“Badak Kalimantan yang memang hanya dua ekor itu kita sangat sedih,” katanya. Ia menambahkan badak di Sabah, Malaysia, sudah punah, sehingga Indonesia menjadi satu-satunya harapan untuk spesies ini.