Rabu 16 Jul 2025 15:10 WIB

Transisi Energi BRICS Jadi Kunci Iklim Global, Indonesia Dianggap Penentu

Laporan internasional sebut posisi strategis Indonesia dalam energi hijau.

Rep: Lintar Satria/ Red: Gita Amanda
Kegagalan BRICS menjalankan transisi energi akan berdampak buruk pada komitmen iklim global. (ilustrasi)
Foto: Hong/Pool Photo via AP
Kegagalan BRICS menjalankan transisi energi akan berdampak buruk pada komitmen iklim global. (ilustrasi)

ESGNOW.ID,  JAKARTA -- Penelitian terbaru mengungkap langkah transisi energi Indonesia, bersama negara-negara BRICS lainnya, menjadi penentu keberhasilan dunia meningkatkan energi terbarukan hingga tiga kali lipat pada 2030 sesuai kesepakatan COP28. Kegagalan BRICS menjalankan transisi energi akan berdampak buruk pada komitmen iklim global, sekaligus berisiko secara ekonomi bagi negara-negara anggotanya.

Hal ini terungkap dalam laporan Net Zero Policy Lab (NZIPL) Johns Hopkins University yang berjudul BRICS Going Green. BRICS yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan, Mesir, Ethiopia, Indonesia, Iran, dan Uni Emirat Arab, menyumbang lebih dari separuh emisi karbon global. Secara keseluruhan, investasi energi bersih BRICS telah melampaui energi fosil, terutama di Brasil, China, dan India. Namun, terdapat polemik internal terkait kebijakan transisi energi di beberapa anggota.

Baca Juga

Peralihan ke investasi hijau saat ini dinilai masih jauh dari yang dibutuhkan untuk memenuhi target Iklim Paris. Padahal, tanpa transisi energi, BRICS, termasuk Indonesia, berisiko terkena sanksi, eksklusi teknologi, dan asimetri perdagangan.

Multilateralisme yang inklusif disebut menjadi kunci bagi pembangunan yang berkelanjutan dan berdaulat bagi negara-negara BRICS. "Mengapa negara-negara BRICS mengadopsi kebijakan industri hijau ini? Salah satu alasannya adalah kebijakan ini memungkinkan mereka untuk mendapatkan bagian dari nilai ekonomi, lapangan kerja, dan produktivitas sektor yang berkembang pesat, atau berisiko tertinggal," kata Peneliti Net Zero Policy Lab Kritika Kapoor dalam pernyataannya, Rabu (16/7/2025).

Kapoor mencatat, Badan Energi Internasional (IEA) memperkirakan teknologi bersih menyumbang sekitar 10 persen pertumbuhan PDB global tahun lalu. Khusus Indonesia, laporan tersebut mengungkapkan terdapat lompatan signifikan dalam kapasitas manufaktur hijau.

Salah satunya, Indonesia menyepakati kemitraan dengan Singapura senilai 10 miliar dolar AS untuk zona industri hijau, seperti panel surya dan baterai, di Bintan, Batam, dan Karimun, yang diumumkan pada Juni 2025. Sebagai pusat hilirisasi nikel terbesar dunia, Indonesia juga mengumumkan rencana pembangunan baterai kendaraan listrik berkapasitas 150 gigawatt hour (GWh) per tahun.

Meski demikian, komitmen transisi hijau Indonesia masih diragukan. Hal ini tercermin dari Rencana Usaha Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2024 yang masih mencantumkan pemanfaatan batu bara hingga sekitar 60 persen. Meskipun Indonesia telah menyatakan target untuk menghapus batu bara secara bertahap dan meningkatkan kapasitas energi terbarukan hingga 75 GW pada 2040.

Saat ini pun, pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia masih sangat kurang dibandingkan dengan potensinya yang melimpah. Selain itu, rendahnya investasi untuk penelitian dan pengembangan, paten, serta pendidikan mengurangi potensi industrialisasi hijau dan keberlanjutan transisi energi jangka panjang.

Laporan Johns Hopkins University menekankan bahwa untuk mencapai transisi energi global yang adil dan inklusif, Indonesia dan negara-negara BRICS harus melangkah lebih jauh dari sekadar mengganti bahan bakar fosil. BRICS memiliki peluang untuk mengambil kepemimpinan proaktif dalam membentuk tatanan internasional yang sedang berkembang dan menjaga prinsip multilateralisme.

Laporan ini merekomendasikan BRICS, termasuk Indonesia, untuk fokus pada tiga agenda kebijakan transformatif, yakni kerja sama industri dan teknologi, kerja sama investasi dan pembiayaan, serta multilateralisme inklusif.

Untuk Indonesia, laporan ini merekomendasikan pembenahan rantai pasok bahan bakar nabati (BBN), mengingat potensi bahan baku pertaniannya yang besar. Indonesia perlu menyusun kebijakan terkait pemanfaatan lahan dan jalur konversi BBN guna mencegah deforestasi dan hilangnya keanekaragaman hayati.

Di sektor hilir, Indonesia juga perlu mengatur mandat pencampuran dan sertifikasi BBN. Selanjutnya, Indonesia perlu menyelaraskan instrumen keuangan, perdagangan, dan teknologi guna mendukung pemanfaatan BBN secara berkelanjutan.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement