ESGNOW.ID, JAKARTA -- Para ilmuwan memperingatkan bahwa saat ini kita memasuki periode yang belum terjadi dan terpetakan, sebagai dampak dari perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia. Peringatan itu disampaikan dalam sebuah laporan yang ditandatangani 15 ribu peneliti dari 163 negara.
Laporan yang dipublikasikan di jurnal BioScience adalah pembaruan terbaru dalam seri tahunan World Scientists Warning of a Climate Emergency. Sejak tahun 2019, para ilmuwan telah melacak peningkatan ancaman yang ditimbulkan oleh kenaikan suhu global terhadap manusia dan ekosistem di seluruh dunia.
Dipimpin oleh ahli ekologi dari Oregon State University, William Ripple, laporan itu memperingatkan bahwa tahun 2023 merupakan tahun yang sangat berbahaya dengan terjadinya kebakaran hutan yang ekstrem, banjir, gelombang panas, dan bencana alam lainnya yang diperburuk oleh perubahan iklim.
“Kami sangat khawatir, karena kita sedang memasuki pada periode yang belum pernah terjadi dan dipetakan. Titik kritis iklim utama memerlukan perhatian serius dan terus-menerus, karena skenario perubahan iklim yang tidak terkendali atau apokaliptik sangat mungkin terjadi” kata Ripple dan rekan-rekannya dalam laporan tersebut seperti dilansir Vice, Jumat (27/10/2023).
Para penulis telah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk memantau 35 tanda-tanda vital Bumi, seperti tutupan pohon secara global, konsentrasi gas rumah kaca, suhu laut, serta populasi manusia dan ternak. Laporan baru ini memperingatkan bahwa 20 dari tanda-tanda tersebut saat ini berada pada rekor ekstrem, yang meningkat dari 16 pada tahun 2022.
Tim Ripple mencatat bahwa efek alam, seperti pola cuaca El Nino dan letusan gunung berapi bawah laut pada tahun 2022, menjadi faktor penyebab terjadinya iklim ekstrem yang memecahkan rekor tahun ini. Namun, para peneliti menekankan, perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia memperburuk banyak proses alami ini dengan cara yang akan menghasilkan anomali yang lebih sering dan lebih dahsyat dalam beberapa dekade mendatang.
Laporan ini juga menawarkan penghitungan visual yang akurat tentang masyarakat yang mengalami bencana terkait iklim, selama beberapa tahun terakhir. Kelompok masyarakat yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim cenderung tinggal di negara-negara yang kurang makmur dan berkontribusi paling kecil terhadap emisi gas rumah kaca global, sehingga menyoroti perlunya gerakan keadilan lingkungan.
"Kami memperingatkan potensi runtuhnya sistem alam dan sosio-ekonomi di dunia yang akan menghadapi panas yang tak tertahankan, cuaca ekstrem yang makin sering, kekurangan makanan dan air bersih, naiknya permukaan air laut, muncul lebih banyak penyakit baru, serta meningkatnya keresahan sosial dan konflik geopolitik," ujar para peneliti.
Pada akhir abad ini, sekitar 3 miliar hingga 6 miliar orang --sekitar sepertiga hingga setengah dari populasi global-- juga mungkin akan terperangkap di area yang tidak layak huni, menghadapi cuaca panas ekstrem, ketersediaan makanan yang terbatas, dan tingkat kematian yang tinggi karena dampak perubahan iklim.
Tentu saja, tim peneliti mendesak komunitas global untuk segera beralih dari penggunaan bahan bakar fosil, bahkan dalam menghadapi hambatan geopolitik yang besar, seperti invasi Rusia ke Ukraina.
Para peneliti juga mendorong agar lebih banyak sumber daya dialokasikan untuk memerangi kerawanan pangan terkait iklim dan untuk mempromosikan kesetaraan gender. Upaya tersebut dinilai akan mengurangi kesenjangan dari masyarakat yang lebih rentan terhadap bencana iklim di seluruh dunia.