ESGNOW.ID, JAKARTA -- Sektor penerbangan menyumbang 2 persen dari emisi karbon dioksida (CO2) secara global, menurut laporan International Energy Agency (IEA). Meskipun terbilang minor, namun polutan yang dihasilkan mesin-mesin pesawat memiliki dampak buruk terhadap lingkungan.
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Wahyu Purwanta, mengatakan bahwa pesawat udara komersil yang beroperasi dari hari ke hari semakin meningkat. Karenanya, angka persentase emisi tersebut diprediksi terus mengalami peningkatan.
“Secara global, pesawat udara menghasilkan 2 persen total produksi emisi karbon dioksida (CO2) per tahun, atau sebanyak 13 persen dari emisi CO2 yang dihasilkan dari seluruh kendaraan dan diprediksi naik menjadi 3 persen sampai tahun 2050,” kata Wahyu saat dihubungi Republika, Rabu (31/1/2024).
Ia menjelaskan, operasional pesawat udara akan menghasilkan emisi gas buang yang berasal dari pembakaran bahan bakar avtur. Gas buang yang dihasilkan antara lain gas karbon dioksida, nitrogen oksida (NOx), sulfur dioksida, karbon monoksida (CO), dan debu. Emisi tersebut merupakan polutan yang merusak lapisan ozon dan pada akhirnya berkontribusi pada pemanasan global.
Dalam studi bertajuk “Profil Emisi Gas Buang dari Pesawat Udara di Sejumlah Bandara di Indonesia” yang dipublikasikan pada tahun 2014, Wahyu telah melakukan analisis dan perhitungan tentang besarnya emisi gas rumah kaca yang dihasilkan jasa industri penerbangan serta prediksinya sampai dengan tahun 2030.
Wahyu menerangkan, penerbangan dalam negeri umumnya dikelompokkan berdasarkan rute angkatan udara berjadwal, angkatan udara tidak berjadwal, dan angkutan udara perintis. Total emisi gas buang diperoleh dari emisi gas buang berdasarkan kondisi LTO (take off dan landing) di setiap bandar udara, dan total emisi gas buang pesawat udara yaitu saat LTO dan jelajah (cruise) disebut dengan Flight Total, serta ditambah dengan emisi yang dihasilkan dari APU.
Dalam penelitian ini dibatasi pada profil emisi gas buang penerbangan dalam negeri di 25 bandara utama yang dikelola PT Angkasa Pura. Dari perhitungan yang dilakukan Wahyu dalam studinya, diketahui bahwa bandar udara Soekarno-Hatta (CGK) merupakan bandara terbesar baik dari sisi jumlah penumpang maupun konsumsi bahan bakar, sehingga emisi gas buangnya tertinggi di antara bandara lain di bawah PT Angkasa Pura.
Dalam hal konsumsi bahan bakar pesawat, bandara CGK mencapai 522.319,5 ton serta menghasilkan emisi total untuk CO2 sebesar 1.645.303 ton, nitrogen dioksida sebesar 7.495,5 ton, serta sulfur dioksida sebesar 405 ton.
Lalu bandara kedua terbesar adalah Djuanda Surabaya (SUB) dengan konsumsi bahan bakar sebesar 154.709 ton, emisi total untuk CO2 sebesar 487.305,7 ton, nitrogen dioksida sebesar 2.151,5 ton, serta sulfur dioksida sebesar 119,1 ton.
“Besaran emisi gas buang di bandara Soekarno-Hatta adalah terbesar di Indonesia mengingat bandara ini adalah bandara ibu kota yang berfungsi sebagai penghubung utama dan pusat transportasi udara di Indonesia, sehingga memiliki angka konsumsi bahan bakar yang tertinggi pula. Adapun dari jenis gas buangnya, karbon dioksida (CO2) adalah yang terbesar di antara gas buang lainnya,” jelas dia.
Dalam studi ini, Wahyu juga mendapati bahwa total emisi gas rumah kaca dari aktivitas penerbangan sebesar 8.171,04 kton CO2 ekuivalen terdiri atas emisi saat LTO sebesar 15 persen, dan saat cruise sebesar 85 persen, merujuk pada basis data 2012. Emisi gas rumah kaca didominasi oleh gas CO2 (99,7 persen), sedangkan hidrokarbon kurang dari 0,3 persen.
“Emisi gas rumah kaca ini tentunya akan menyebar ke atmosfer di seluruh wilayah Indonesia dan memberikan kontribusi pemanasan baik secara nasional, maupun global,” tegas Wahyu.
Sementara itu, hasil prakiraan untuk tahun 2030 diperoleh untuk emisi CO2 pada kondisi LTO (take off dan landing) mengalami peningkatan 2,27 kali dari tahun 2012, untuk Nitrogen oksida (NOx) 1,68 kali, dan bahan bakar yang terpakai 2,27 kali. Perkiraan emisi total pada 2030 untuk Nitrogen dioksida mengalami peningkatan 2,51 kali, CO2 dan bahan bakar terpakai 2,30 kali sejak tahun 2012.