ESGNOW.ID, JAKARTA -- The International Council of Clean Transportation (ICCT) mengungkap bahwa kendaraan listrik berbasis baterai (BEV) memiliki emisi siklus hidup terendah saat ini, dan manfaat iklimnya semakin meningkat di masa depan. Karenanya menurut ICCT, BEV merupakan alternatif paling ideal yang dapat membantu Indonesia mencapai target net zero pada 2060.
Senior Researcher & Co-coordinator for Battery and EV Cost Parity Cluster ICCT, Georg Bieker, menjelaskan bahwa emisi gas rumah kaca siklus hidup mobil SUV menunjukkan bahwa BEV emisinya 47-54 persen lebih rendah daripada mobil bensin. Sementara itu, mobil hybrid dan plug-in hybrid, masing-masing 27 persen dan 8 persen lebih rendah daripada mobil bensin. Adapun mobil diesel dengan campuran B35 atau B40 emisinya lebih tinggi daripada mobil bensin, dan mobil bensin memiliki konsumsi bahan bakar yang relatif tinggi.
"Jadi menurut analisa kami, dibandingkan dengan mobil bermesin pembakaran, hybrid, dan hybrid plug-in, BEV lebih memungkinkan untuk membantu Indonesia mencapai target iklimnya pada 2060,” kata Bieker dalam acara media coaching di Jakarta, Rabu (28/2/2024).
Studi ICCT juga mengungkap manfaat BEV di seluruh segmen. Pada segmen mobil tahun 2023, emisinya 47-49 persen lebih rendah untuk skenario bauran listrik awal, dan 54-56 persen lebih rendah dalam skenario net zero tahun 2060. Lalu segmen mobil pada 2030, ICCT memperkirakan emisinya 51-53 persen lebih rendah untuk skenario bauran listrik awal, dan 65-67 persen lebih rendah pada skenario net zero tahun 2060.
Sementara itu, pada segmen sepeda motor pada tahun 2023, emisinya 26 persen lebih rendah pada baseline skenario, dan 35 persen lebih rendah pada skenario net zero pada 2060. Lalu pada 2030, emisinya diperkirakan 26 persen lebih rendah pada baseline scenario, dan 51 persen pada skenario net zero.
Bieker juga membantah anggapan bahwa produksi baterai untuk kendaraan listrik akan menghasilkan emisi yang tinggi. Menurutnya studi-studi tersebut tidak lagi relevan, karena saat ini sudah ada banyak bukti yang menyatakan bahwa emisi dari produksi baterai terhitung rendah.
“Jadi ada banyak data di luar sana yang mengklaom emisi yang tinggi untuk produksi baterai, namun itu saya kira sudah ketinggalan zaman. Kita dapat melihat misalnya pada produksi baterai di China, di mana emisi yang dihasilkan baterai terbaik NMC berkisah 70 kilogram CO2 per kilowatt hour,” kata Bieker.
Atas berbagai keunggulan tersebut, Bieker menyarankan agar pemerintah Indonesia memberi dukungan terhadap produksi baterai dan BEV dalam negeri untuk mencapai target produksi dan penjualan. Kemudian, agar target iklim Indonesia tercapai, pemerintah juga perlu menghapuskan penjualan kendaraan bahan bakar fosil (ICE), HEV atau mobil hybrid, dan plug-in hybrid (PHEV) baru secara bertahap pada tahun 2040.
Bieker juga menilai, pemerintah perlu menyeimbangkan pengeluaran publik untuk subsidi pembelian dan insentif pajak untuk BEV dengan pajak yang lebih tinggi untuk kendaraan berpolusi tinggi.
“Yang tidak kalah penting, pemerintah perlu mendukung penyebaran infrastruktur pengisian daya di rumah, tempat kerja, dan tempat umum, serta memperkenalkan pengurangan tarif listrik dan penggunaan kendaraan berdasarkan waktu,” kata Bieker.