ESGNOW.ID, JAKARTA – Kementerian Perindustrian Jepang memulai pembicaraan pada Rabu untuk menyusun rencana energi dasar berikutnya. Ini menjadi strategi jangka panjang Jepang menyeimbangkan keamanan energi dan dekarbonisasi guna mencapai netralitas karbon pada tahun 2050.
Pembicaraan ini akan menjadi revisi pertama dari rencana tersebut sejak Perdana Menteri Fumio Kishida melakukan perubahan kebijakan energi besar-besaran pada tahun 2022. Perubahan mengisyaratkan Jepang akan menghidupkan kembali pembangkit-pembangkit listrik tenaga nuklir yang tidak digunakan dengan lebih cepat serta memperpanjang masa pakai pembangkit-pembangkit listrik yang sudah ada untuk mengatasi krisis energi yang dipicu oleh perang Ukraina.
Jepang, penghasil emisi karbondioksida terbesar kelima di dunia, saat ini bergantung pada bahan bakar fosil untuk sekitar 70 persen kebutuhan listriknya. Pemerintah merevisi rencana energinya setiap tiga sampai empat tahun.
"Permintaan terhadap keamanan energi lebih tinggi dari sebelumnya, sementara gerakan dekarbonisasi juga terus berkembang," kata Menteri Perindustrian Jepang Ken Saito dalam sebuah pertemuan panel yang dihadiri oleh pakar energi dan industri.
"Saya merasa saat ini Jepang berada pada titik paling sulit pasca perang dalam kebijakan energinya," kata Saito seperti dilansir Reuters, Rabu (15/5/2024).
Rencana saat ini, yang disetujui oleh kabinet pada bulan Oktober 2021, tidak menyebutkan pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir baru atau penggantian pembangkit listrik tenaga nuklir yang sudah ada. Akan tetapi menyatakan Jepang bertujuan untuk mengurangi ketergantungannya pada tenaga nuklir sebanyak mungkin.
Rencana baru ini akan menguraikan tujuan dan arah kebijakan tentang bagaimana Jepang akan mempercepat dekarbonisasi menuju tahun 2035-2040 untuk berkontribusi pada upaya internasional melawan pemanasan global, sekaligus memastikan pasokan energi yang stabil.
Diskusi juga akan membahas bagaimana Jepang akan mengurangi pembangkit listrik tenaga batu bara dan bagaimana mengamankan pasokan jangka panjang gas alam cair, yang dianggap sebagai bahan bakar penting selama masa transisi energi.
Panel ini, bersama dengan kelompok kerja khusus di bawah kementerian, akan mengadakan serangkaian diskusi, dengan rencana energi baru yang diharapkan dapat diselesaikan sekitar pertengahan 2025.