ESGNOW.ID, BAKU -- Indonesia menargetkan menambah 100 gigawatt kapasitas listrik pada tahun 2040. Utusan Khusus Presiden untuk Energi dan Lingkungan dan Ketua Delegasi Republik Indonesia di Pertemuan Perubahan Iklim PBB ke-29 (COP29) Hashim S Djojohadikusumo mencatat, 75 persen kapasitas listrik itu akan berasal dari energi terbarukan.
Direktur Utama PT PLN (Persero) Darmawan Prasodjo menjelaskan, sebanyak 75 gigawatt akan berasal dari pembangkit listrik tenaga hidro, geothermal, surya dan angin. Lalu, sebanyak 5 gigawatt dari tenaga nuklir dan 22 gigawatt dari gas.
Darmawan mengakui terdapat tantangan besar dalam upaya transisi ke energi bersih, tapi hal ini juga memberikan peluang besar. Ia menjelaskan, pembangunan pembangkit listrik tenaga bahan bakar fosil seperti batu bara dan minyak dapat dilakukan di dekat daerah yang membutuhkannya.
"Namun ketika kita beralih dari energi berbasis bahan bakar fosil ke energi berbasis energi terbarukan, pertanyaannya adalah, bisakah kita merelokasi energi panas bumi? Bisakah kita merelokasi energi tenaga air? Dan ada ketidaksesuaian antara lokasi sumber daya tersebut dengan lokasi permintaan," kata Darmawan di panel diskusi bertema "CEO Climate Talks: Enchaning Ambition on Renewable Energy" di Pavilliun Indonesia COP29, Azerbaijan, Senin (11/11/2024).
Darmawan mengatakan, PLN bekerja sama dengan Badan Energi Internasional dan Kementerian Sumber Daya Mineral dan Energi untuk membuat model. PLN menemukan perlu membangun 70 ribu kilometer sirkuit jaringan transmisi untuk menyalurkan listrik dari sumber daya energi terbarukan ke lokasi permintaan.
"Apakah ini tantangan? Ya. Apakah ini peluang? Ya. Kita dapat melihat dari kedua sisi. Dengan demikian, kita dapat memanfaatkan tenaga air yang belum dimanfaatkan, dengan ini, kita dapat menambah lebih banyak sumber daya tenaga air, menambah lebih banyak sumber daya panas bumi, menambah lebih banyak tenaga surya dan angin," katanya.
Tantangan kedua dalam transisi energi adalah intermittency. Variabel intermittency merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan sifat tidak konsisten atau tidak berkelanjutan dari produksi energi listrik yang berasal dari sumber energi terbarukan seperti matahari dan angin. Karena itu, kata Darmawan, dibutuhkan pembangkit listrik yang fleksibel.
"Kita perlu membangun jaringan cerdas, transmisi cerdas, pusat kendali cerdas, distribusi cerdas. Dan tanpa jaringan cerdas, kita hanya dapat menambah 5 gigawatt," katanya.
Namun, tambahnya, dengan jaringan cerdas atau SMART Grid, dapat menambah hingga 42 gigawatt, sehingga mampu menanggapi keseimbangan antara penawaran dan permintaan. Darmawan mengatakan biaya untuk membangun jalur transmisi sekitar 35 miliar dolar AS.
"Jaringan cerdas membutuhkan 5 miliar dolar AS lagi. Dan totalnya sekitar 235 miliar dolar AS dari sekarang hingga 2040," katanya.