Selasa 26 Nov 2024 10:27 WIB

Target Energi Terbarukan Indonesia Harus Lebih Ambisius

Menambah 75 GW energi terbarukan belum cukup.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Sebuah kapal melintas di dekat solar panel pada proyek PLTS Terapung di Waduk Cirata, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Selasa (26/9/2023).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sebuah kapal melintas di dekat solar panel pada proyek PLTS Terapung di Waduk Cirata, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Selasa (26/9/2023).

ESGNOW.ID,  JAKARTA - Lembaga think-tank Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) menilai visi Presiden Prabowo Subianto mencapai nol bersih pada 2050 dengan menutup seluruh pembangkit listrik berbahan bakar fosil dan membangun 75 gigawatt (GW) energi terbarukan, kurang ambisius. Menurut CREA, menambah 75 GW energi terbarukan belum cukup untuk menutup selisih dari rencana penghentian pembangkit listrik bahan bakar fosil.

Analis CREA Katherine Hasan mengatakan, sebanyak 62 persen pasokan listrik Indonesia, baik yang tersambung dengan jaringan PLN (on grid) maupun berdiri sendiri (off grid), berasal dari batu bara. Karenanya, rencana penghentian penggunaan pembangkit listrik berbahan bakar fosil pada 2040 merupakan terobosan besar.

Baca Juga

Menurutnya, Indonesia seharusnya menetapkan target penerapan energi ramah lingkungan yang lebih ambisius.

"Target tambahan 75 GW energi terbarukan dan 5 GW nuklir pada 2040 yang diumumkan baru-baru ini hanya akan menghasilkan listrik bebas fosil sekitar 35 persen dari proyeksi kebutuhan listrik nasional. Ini berarti targetnya harus ditingkatkan lebih dari dua kali lipat agar visi Presiden Prabowo dapat menjadi kenyataan,” kata Katherine dalam siaran persnya, Selasa (26/11/2024).

Target penambahan energi terbarukan di Indonesia setidaknya harus sebesar yang tercantum dalam dokumen Rencana Investasi dan Kebijakan Komprehensif (CIPP) Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (JETP), yang membidik tambahan 210 GW pembangkit listrik non-fosil pada 2040, dan mencapai 80 persen pangsa energi terbarukan pada periode yang sama. Meskipun, jika Presiden Prabowo serius ingin mematikan seluruh pembangkit listrik berbasis energi fosil, penambahan energi terbarukan harus lebih besar lagi.

"Tambahan kapasitas energi terbarukan yang dibutuhkan sekitar 25 persen lebih banyak dari JETP di 2040, kalau semua PLTU dan pembangkit berbahan bakar fosil di-phase out," tambah Katherine.

Hal ini penting lantaran mempertimbangkan proyeksi pertumbuhan permintaan listrik. Penerapan target 75 GW juga berarti masih memberi ruang penambahan pembangkit listrik berbasis bahan bakar fosil. Perkiraan CREA, jika penambahan kapasitas energi terbarukan hanya 75 GW, penambahan pembangkit listrik bertenaga fosil pada tahun 2040 akan meningkat hingga 160 persen lebih tinggi dari tahun 2022.

Analis Utama CREA, Lauri Myllyvirta menekankan, rencana yang disampaikan Presiden Prabowo harus diselaraskan dengan peta jalan investasi pembangkit listrik yang tertera dalam dokumen CIPP JETP.

“Kami juga meminta agar pemerintah terus berupaya menghilangkan hambatan yang selama ini menghambat lepas landasnya sumber daya energi bersih berbiaya rendah di Indonesia, untuk memastikan bahwa tujuan yang ditetapkan dalam rencana tersebut sepenuhnya terwujud dalam jangka waktu yang diusulkan,” kata Lauri.

Penyesuaian target energi terbarukan agar selaras dengan visi penghapusan bahan bakar fosil pada 2040 merupakan peluang besar bagi Indonesia untuk menarik investasi. “Di luar investasi sebesar 235 miliar dolar AS yang direncanakan PLN untuk penambahan kapasitas sebesar 100 GW, peningkatan ambisi untuk memenuhi target energi bersih JETP CIPP akan menghasilkan investasi hampir 200 miliar dolar AS dari tambahan kapasitas energi terbarukan sebesar 130 GW,” kata Katherine.

Penghentian PLTU batu bara secara bertahap juga akan membawa manfaat kesehatan yang besar. CREA mencatat saat ini, PLTU bertanggung jawab atas 10.500 kematian tahunan dan beban ekonomi sebesar 7,4 miliar dolar AS di Indonesia. Visi Presiden Prabowo akan sejalan dengan target 1,5 derajat Perjanjian Paris – menghindari total kumulatif 182 ribu kematian terkait polusi udara dan biaya kesehatan sebesar 130 miliar dolar AS, mulai 2024 hingga akhir masa pakai semua pembangkit listrik.

“Visi Presiden Prabowo untuk penghentian penggunaan energi fosil pada tahun 2040 dapat menjadi titik balik bagi Indonesia. Namun, untuk mewujudkan tujuan ini diperlukan kepemimpinan yang kuat serta dukungan dari semua pemangku kepentingan yang terlibat, khususnya investor, untuk melihat potensi dari rencana tersebut dan memanfaatkan peluang ekonomi yang sangat besar yang ada,” kata Katherine.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement