Senin 04 Aug 2025 12:39 WIB

Belajar dari Selandia Baru, Konservasi Hutan Bisa Dorong Ekonomi dan Turisme Berkelanjutan

Lewat konservasi, ekonomi baru bisa tumbuh lebih ramah lingkungan

Rep: Lintar Satria/ Red: Intan Pratiwi
Konservasi hutan selandia baru
Foto: Image Source...
Konservasi hutan selandia baru

ESGNOW.ID, JAKARTA -- Pemerintah Selandia Baru tengah menata ulang strategi pengelolaan kawasan konservasi agar mampu mendukung pertumbuhan ekonomi tanpa mengorbankan kelestarian alam. Langkah ini menjadi pembelajaran penting bagi negara-negara dengan kekayaan alam serupa, termasuk Indonesia, yang menghadapi tantangan antara konservasi dan pembangunan.

Perdana Menteri Selandia Baru, Christopher Luxon, mengumumkan bahwa negaranya akan mempermudah perizinan aktivitas bisnis di kawasan konservasi seperti wisata alam, pertanian, dan infrastruktur berkelanjutan. Tujuannya adalah menciptakan lapangan kerja baru, memperkuat industri pariwisata, sekaligus menjaga keindahan dan fungsi ekologis area konservasi.

"Kami akan memperbaiki Undang-Undang Konservasi untuk membuka gelombang baru konsesi di lokasi-lokasi yang masuk akal," ujar Luxon dilansir dari Reuters.

Selama ini, aktivitas seperti tur berpemandu, olahraga salju, hingga penggembalaan ternak memang telah berlangsung di beberapa kawasan konservasi, namun proses perizinannya sangat lambat. Pemerintah ingin menyederhanakan prosedur tanpa mengurangi prinsip kehati-hatian dalam pelestarian alam.

Pemerintah Selandia Baru juga berencana mengenakan tarif khusus kepada wisatawan asing, berkisar antara 20 hingga 40 dolar Selandia Baru, untuk mengakses kawasan konservasi. Sebaliknya, warga lokal tetap dapat menikmati kawasan tersebut secara gratis. Menurut Menteri Konservasi Tama Potaka, kebijakan ini penting untuk memastikan wisatawan turut memberikan kontribusi pada upaya pelestarian.

"Tidak ada yang menginginkan perubahan drastis, tapi berulang kali saya dengar dari turis mancanegara betapa mereka heran bisa melihat pemandangan paling indah di dunia tanpa biaya. Kini waktunya turisme juga ikut menjaga alam," kata Potaka.

Langkah ini muncul di tengah kekhawatiran global terhadap fenomena overtourism, yakni lonjakan wisatawan yang melebihi daya tampung kawasan wisata. Di Eropa, seperti di Paris dan Barcelona, protes publik meningkat karena kawasan historis berubah menjadi "taman hiburan massal", menekan kehidupan warga lokal dan menaikkan harga properti.

Dengan luas lahan konservasi mencapai hampir 30 persen dari total wilayah, Selandia Baru menunjukkan bahwa konservasi dan ekonomi bukan dua hal yang saling bertentangan. Justru, pengelolaan yang bijak dapat menjadikan hutan dan kawasan lindung sebagai motor ekonomi hijau berbasis komunitas dan berkelanjutan.

Bagi Indonesia, yang juga memiliki cadangan biodiversitas tropis terbesar di dunia, pendekatan ini relevan untuk diterapkan dengan modifikasi lokal. Inisiatif seperti hutan desa, hutan adat, dan hutan wakaf bisa mengambil inspirasi dari model Selandia Baru, yakni dengan membuka peluang usaha berbasis ekowisata dan agrosilvopastura, sembari memperkuat regulasi tata kelola.

Langkah Selandia Baru menjadi pengingat bahwa masa depan konservasi bukan hanya soal larangan, tapi soal inovasi. Jika dikelola dengan baik, hutan bisa menjadi sumber kesejahteraan yang berkelanjutan, tanpa kehilangan jati dirinya sebagai paru-paru bumi.

Yuk gabung diskusi sepak bola di sini ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement