ESGNOW.ID, BAKU -- Azerbaijan merupakan tuan rumah pertemuan perubahan iklim PBB (COP29) pada November mendatang. Selama puluhan tahun, negara perbatasan Asia dan Eropa ini mengandalkan bahan bakar fosil sebagai sumber energinya.
COP29 yang diadakan di Baku akan berfokus pada urgensi penghapusan bahan bakar fosil dalam sistem energi dunia. Langkah ini ditolak banyak negara, termasuk G7 yang memberikan lampu hijau pada investasi publik ke gas alam yang merupakan salah satu sumber polusi.
Bagaimana pun, minyak merupakan faktor yang mendorong negara-negara miskin menjadi kaya pada tahun 1990-an. Berdasarkan data Badan Energi Internasional (IEA), minyak dan gas masih memberikan 90 persen pendapatan ekspor Azerbaijan dan 60 persen anggaran pemerintah.
Tapi di saat yang sama, Azerbaijan juga meningkatkan penggunaan energi hijaunya dengan agresif. Negara itu ingin mencapai target 30 persen kapasitas energi terbarukan pada tahun 2030.
Dikutip dari The Straits Times, Senin (17/6/2024), pada bulan Februari lalu Azerbaijan menyelesaikan membangun panel surya yang di saat puncaknya menghasilkan 230 megawatt di atas lahan seluas 550 hektare yang sebelumnya digunakan untuk penggembalaan. Panel surya yang dibangun BUMN Uni Emirat Arab, Masdar, ini dapat meningkatkan kapasitas energi terbarukan Azerbaijan sekitar 16 persen dari total energi bauran 20,3 persen.
The Straits Times melaporkan saat ini pembangkit listrik energi terbarukan Azerbaijan yang sebagian besar tenaga air, mencapai 7-8 persen dari total konsumsi energinya karena ada gangguan saat malam hari atau saat ada awan. Namun, negara ini memiliki delapan proyek pembangkit listrik tenaga angin dan surya dengan kapasitas sekitar 2GW atau 2.000 MW yang sedang dalam tahap pengerjaan. Proyek-proyek ini menunjukkan potensi energi terbarukan Azerbaijan yang masih sangat besar dan belum dimanfaatkan.
"Kami memiliki target awal untuk mencapai 30 persen kapasitas terbarukan pada tahun 2030, namun kami bermaksud untuk menambahkan 2GW energi bersih ini pada tahun 2027, 2028, jika Anda menambahkannya ke jaringan listrik, kami akan mencapai sekitar 32 (persen), 33 persen (dari kapasitas terbarukan)," kata wakil direktur Badan Energi Terbarukan Azerbaijan, yang berada di bawah Kementerian Energi negara tersebut, Kamran Huseynov kepada The Straits Times.
Penasihat kebijakan luar negeri Presiden Ilham Aliyev, Hikmet Hajiyev, mengatakan menjelang COP29, negaranya berharap dapat memberikan contoh pada transisi energi hijau meski sudah lama menjadi eksportir bahan bakar fosil dan memiliki hubungan erat dengan minyak.
Hajiyev mengatakan, Azerbaijan juga berharap dapat mentransformasi ekonominya dan menjadi eksportir energi baru dan terbarukan (EBT). Dia menegaskan, Azerbaijan bekerja sangat keras dan mempelajari semua kemungkinan untuk menetapkan apakah mungkin mereka bisa mencapai nol-emisi pada tahun 2050.
Banyak negara seperti Singapura, Jepang, Uni Eropa dan Australia yang ingin mencapa nol-emisi pada tahun 2050 sesuai perjanjian Paris. Sementara target Indonesia 2060 dengan sebagian besar pembangkit listrik menggunakan sumber daya dari berbagai energi terbarukan.
Target perjanjian Paris sesuai dengan rekomendasi ilmuwan adalah menjaga agar suhu bumi tidak mencapai 1,5 derajat Celsius lebih panas dibandingkan masa pra-industri. Tujuannya untuk membantu menahan dampak pemanasan global.
Azerbaijan belum berkomitmen untuk nol-emisi pada tahun 2050. Negara itu ingin mencapai target pada tahun 2050 dengan memangkas emisi sebanyak 40 persen dibanding emisi tahun 1990. Namun pencapaian target tersebut tergantung pada dukungan teknologi, pendanaan dan pembangunan kapasitas dari internasional. Baru-baru ini terdapat indikasi Azerbaijan berupaya mencapai tujuan nol emisi.
Nanun, sejumlah pihak yang skeptis mengatakan negara tersebut hanya berusaha meningkatkan kredibilitas hijaunya menjelang COP29. Tapi ada pula yang berpendapat transisi ekonomi Azerbaijan dapat menjadi “mercusuar” bagi negara-negara penghasil bahan bakar fosil lainnya.