Jumat 02 May 2025 11:28 WIB

Indonesia Susun Rencana Adaptasi Nasional Hadapi Dampak Krisis Iklim

Dampak perubahan iklim semakin nyata dan mengkhawatirkan.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Kegiatan kick-off penyusunan Rencana Adaptasi Nasional untuk menghadapi krisis iklim.
Foto: Tangkapan layar.
Kegiatan kick-off penyusunan Rencana Adaptasi Nasional untuk menghadapi krisis iklim.

ESGNOW.ID,  JAKARTA — Dampak perubahan iklim yang semakin nyata di Indonesia mendorong pemerintah untuk mempercepat penyusunan National Adaptation Plan (NAP) atau Rencana Adaptasi Perubahan Iklim Nasional. Deputi Bidang Pengendalian Perubahan Iklim dan Tata Kelola Ekonomi Karbon Kementerian Lingkungan Hidup, Ary Sudijanto, menegaskan pentingnya percepatan penyusunan NAP sebagai langkah strategis menghadapi krisis iklim yang kian terasa di Indonesia.

Menurut Ary, perubahan iklim yang sebelumnya terasa perlahan kini menunjukkan dampak yang semakin nyata dan mengkhawatirkan. Data terbaru mencatat suhu rata-rata global pada 2024 telah mencapai 1,59 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri, melampaui batas aman 1,5 derajat Celsius yang disepakati dalam Paris Agreement. Kondisi ini memperkuat urgensi tindakan adaptasi dan mitigasi, baik secara global maupun nasional.

Baca Juga

“Dampak perubahan iklim sudah sangat nyata, mulai dari peningkatan bencana hidrologis seperti banjir dan tanah longsor yang melanda berbagai wilayah di Indonesia awal tahun 2025, hingga fenomena badai tropis dengan intensitas tinggi yang sebelumnya jarang terjadi, seperti Badai Tropis Seroja yang menghantam Nusa Tenggara Timur dan Timor Leste pada 2021,” kata Ary dalam kickoff penyusunan NAP yang dipantau secara daring, Jumat (2/5/2025).

Selain bencana alam, perubahan iklim juga berdampak pada sektor pertanian dan kesehatan. Perubahan pola musim dan iklim menyebabkan penurunan produksi pangan, bahkan gagal panen di sejumlah daerah. Di sektor kesehatan, penyakit yang dipengaruhi oleh iklim seperti demam berdarah dengue (DBD), malaria, dan diare berdarah (DRE) mengalami peningkatan seiring perubahan cuaca.

Ary menambahkan, potensi kerugian ekonomi akibat perubahan iklim diperkirakan mencapai 0,55 hingga 3,55 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) nasional pada 2030. “Ini menuntut kita untuk serius melakukan adaptasi dan menyesuaikan perencanaan pembangunan agar lebih responsif terhadap dampak perubahan iklim,” ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa penanganan perubahan iklim terdiri dari dua pilar utama, yakni mitigasi dan adaptasi. Mitigasi berfokus pada pengurangan emisi gas rumah kaca, sementara adaptasi bertujuan menyesuaikan diri dengan dampak perubahan iklim yang sudah dan akan terus berlangsung.

“Upaya mitigasi sudah banyak dilakukan melalui perencanaan di tingkat sektor, nasional, dan subnasional. Namun, adaptasi masih tertinggal, dan ini menjadi sangat mendesak mengingat dampaknya yang semakin nyata,” kata Ary.

Dalam konteks global, NAP merupakan instrumen penting untuk memperkuat aksi adaptasi melalui kebijakan dan perencanaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Paris Agreement. Namun, Ary mengungkapkan bahwa penyusunan NAP di banyak negara, termasuk Indonesia, masih berjalan lambat. Hingga saat ini, baru 51 negara yang telah menyelesaikan dan menyerahkan NAP ke UNFCCC.

Menanggapi hal tersebut, Indonesia berkomitmen untuk segera menyelesaikan dokumen NAP dengan dukungan mitra-mitra pembangunan. “Mulai hari ini kami akan menyusun dokumen NAP Indonesia yang diharapkan dapat diselesaikan dan diserahkan ke UNFCCC sebelum COP ke-30 di Belem, Brazil, November nanti,” ujarnya.

Penyusunan NAP ini diamanatkan dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang implementasi Paris Agreement di Indonesia, serta didukung oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Namun, Ary mengakui penyusunan kriteria baku untuk adaptasi lebih kompleks dibanding mitigasi karena dampaknya yang sangat beragam, mulai dari kenaikan muka air laut, penurunan produksi pangan, hingga perubahan pola penyakit. Ia menyoroti bahwa adaptasi merupakan tantangan besar bagi Indonesia sebagai negara kepulauan yang sangat rentan terhadap perubahan iklim.

“Perhatian terhadap adaptasi selama ini masih lebih rendah dibanding mitigasi, padahal urgensinya sangat tinggi,” ujarnya.

Elemen penting dalam NAP meliputi inventarisasi dampak dan proyeksi perubahan iklim, penyusunan opsi adaptasi, strategi implementasi, serta sistem pemantauan dan evaluasi. Indonesia sendiri telah memiliki berbagai dokumen dan kebijakan pendukung, seperti dokumen dari Bappenas, kebijakan adaptasi di sektor kesehatan, serta roadmap adaptasi yang dirilis Kementerian Lingkungan Hidup pada 2021.

Ary berharap NAP dapat menyatukan visi dan langkah adaptasi yang selama ini tersebar di berbagai kementerian dan lembaga, serta terintegrasi dengan perencanaan pembangunan nasional dan daerah. “Ini akan membantu mobilisasi sumber daya dan memastikan intervensi adaptasi dilakukan secara efektif dan efisien,” kata Ary.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement