Senin 21 Apr 2025 15:39 WIB

Nestapa Warga di Kota Paling Berpolusi: ‘Anak Saya Bernapas Seperti Ikan Kehabisan Air’

Industrialisasi menggerus perlindungan lingkungan.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Siswa India menggunakan sapu tangan sebagai masker untuk melindungi diri dari polusi udara mematikan di New Delhi, India.
Foto: AP Photo/R S Iyer
Siswa India menggunakan sapu tangan sebagai masker untuk melindungi diri dari polusi udara mematikan di New Delhi, India.

ESGNOW.ID,  INDIA – Derita pernapasan dan iritasi kulit menghantui keseharian warga Byrnihat, India, kota yang paling berpolusi  di dunia versi IQAir. Seorang balita berusia dua tahun, Sumaiya Ansari, terpaksa dilarikan ke rumah sakit dan bergantung pada oksigen.

Dokter mengaitkan kondisi kesehatannya sang balita dengan paparan udara beracun di wilayah yang terletak di perbatasan Negara Bagian Assam dan Meghalaya tersebut.

Baca Juga

Data IQAir tahun 2024 mencatat rata-rata konsentrasi partikel mikroskopis PM2.5 di Byrnihat mencapai 128,2 mikrogram per meter kubik25 kali lipat lebih tinggi dari ambang batas aman yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Partikel sekecil 2,5 mikron ini bagai siluman yang tak terlihat, namun mampu menyusup jauh ke dalam paru-paru, memicu penyakit mematikan hingga gangguan jantung.

"Sungguh mengerikan melihatnya bernapas seperti ikan yang kehabisan air," ungkap Abdul Halim, ayahanda Sumaiya.

Setelah dua hari berjuang di rumah sakit, Sumaiya akhirnya bisa kembali ke pelukan keluarganya. Namun, ironisnya, data pemerintah setempat justru menunjukkan lonjakan kasus infeksi pernapasan yang mengkhawatirkan, yaitu dari 2.082 kasus pada 2022 menjadi 3.681 kasus pada 2024.

"90 persen pasien yang kami tangani setiap hari datang dengan keluhan batuk atau masalah pernapasan lainnya," ujar Dr. J Marak dari Pusat Kesehatan Primer Byrnihat, menggambarkan betapa kronisnya masalah ini.

Tak hanya sistem pernapasan yang terancam, warga juga mengeluhkan ruam kulit dan iritasi mata yang tak kunjung reda. Bahkan, debu dan jelaga seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari lingkungan mereka, merusak tanaman dan memaksa aktivitas sederhana seperti menjemur pakaian menjadi mimpi buruk. "Semuanya tertutup debu atau jelaga," keluh Dildar Hussain, seorang petani yang merasakan langsung dampaknya.

Para kritikus menilai tragedi Byrnihat bukan sekadar anomali, melainkan cerminan suram dari tren polusi yang merambah kota-kota kecil di India, seiring laju industrialisasi yang menggerus perlindungan lingkungan. Berbeda dengan wilayah lain yang biasanya mengalami peningkatan polusi musiman di musim dingin, kualitas udara Byrnihat justru memprihatinkan sepanjang tahun, berdasarkan data pemerintah.

Lebih dari 80 industri, yang sebagian besar dituding sebagai penyumbang utama polusi udara, beroperasi di Byrnihat. Para ahli menambahkan, masalah ini diperparah oleh tingginya emisi kendaraan berat dan topografi kota yang unik, bak "mangkuk" yang memerangkap polutan.

"Terjepit di antara perbukitan Meghalaya dan dataran Assam, tidak ada ruang bagi polutan untuk menyebar," jelas Arup Kumar Misra, ketua badan pengendalian polusi Assam, menggambarkan sulitnya sirkulasi udara di wilayah tersebut.

Lokasi geografis ini pula yang semakin mempersulit upaya mencari solusi. Seorang pejabat anonim mengungkapkan sikap saling menyalahkan antar pemerintah negara bagian.

Namun, secercah harapan muncul pasca-rilis laporan IQAir pada Maret lalu. Assam dan Meghalaya akhirnya sepakat untuk membentuk komite gabungan, sebuah langkah awal untuk bekerja sama mengatasi krisis polusi yang mencekik Byrnihat.

sumber : Reuters
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement