Jumat 17 May 2024 14:35 WIB

Planet yang Memanas dan Tercemar Mempermudah Penyebaran Penyakit Menular  

Iklim yang lebih panas dapat memperluas jangkauan spesies vektor seperti nyamuk.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Friska Yolandha
Iklim yang lebih panas dan lebih basah dapat memperluas jangkauan spesies vektor seperti nyamuk.
Foto:

Dampak perubahan iklim terhadap penyakit juga tidak seragam di seluruh dunia. Di daerah beriklim tropis, cuaca yang lebih panas dan lebih basah menyebabkan ledakan demam berdarah. Namun, kondisi yang lebih kering di Afrika mungkin akan menyusutkan area penularan malaria dalam beberapa dekade mendatang.

Penelitian yang dipublikasikan di jurnal Science pekan ini memodelkan interaksi antara perubahan iklim, curah hujan dan proses hidrologi seperti penguapan dan seberapa cepat air meresap ke dalam tanah. Penelitian ini memprediksi penurunan yang lebih besar pada area yang cocok untuk penularan penyakit dibandingkan dengan perkiraan berdasarkan curah hujan saja, dengan penurunan dimulai dari tahun 2025.

Penelitian ini juga menemukan bahwa musim malaria di beberapa bagian Afrika bisa jadi lebih pendek empat bulan dari perkiraan sebelumnya.

“Temuan ini tidak selalu merupakan kabar baik. Lokasi daerah yang cocok untuk malaria akan bergeser, dengan dataran tinggi Ethiopia di antara daerah-daerah yang kemungkinan akan terkena dampak baru,” kata penulis utama studi, Mark Smith, seorang profesor riset air di University of Leeds.

Masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut mungkin lebih rentan, karena mereka belum pernah terpapar. Dan populasi diperkirakan akan tumbuh dengan cepat di daerah-daerah di mana malaria akan tetap ada atau menjadi mudah menular, sehingga insiden penyakit secara keseluruhan dapat meningkat.

Smith memperingatkan bahwa kondisi yang terlalu buruk untuk malaria, mungkin juga terlalu buruk bagi manusia. "Perubahan ketersediaan air untuk minum atau pertanian bisa menjadi sangat serius,” kata dia.

Kaitan antara iklim dan penyakit menular berarti pemodelan iklim dapat membantu memprediksi wabah. Prakiraan suhu dan curah hujan lokal telah digunakan untuk memprediksi peningkatan demam berdarah, namun waktu yang dibutuhkan untuk memprediksi ini sangat singkat dan tidak dapat diandalkan.

Salah satu alternatifnya adalah indeks luas cekungan Samudra Hindia (IOBW), yang mengukur rata-rata regional anomali suhu permukaan laut di Samudra Hindia. Penelitian yang juga dipublikasikan di Science pekan ini mengamati data demam berdarah dari 46 negara selama tiga dekade dan menemukan korelasi yang erat antara fluktuasi IOBW dan wabah di belahan bumi utara dan selatan.

Penelitian ini bersifat retrospektif, sehingga daya prediksi IOBW belum teruji. Namun, dengan memantaunya, para pembuat kebijakan dapat mempersiapkan diri dengan lebih baik dalam menghadapi wabah penyakit yang menjadi masalah kesehatan masyarakat.

“Pada akhirnya, bagaimanapun juga, mengatasi peningkatan penyakit menular berarti mengatasi perubahan iklim. Penelitian menunjukkan bahwa peningkatan penyakit sebagai respons terhadap perubahan iklim akan konsisten dan meluas, yang semakin menekankan perlunya pengurangan emisi gas rumah kaca,” kata Rohr.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement