Jumat 08 Aug 2025 18:00 WIB

Ekspansi Pembangkit Listrik Gas Berpotensi Bebani Perekonomian Indonesia

Metana dari pembangkit gas disebut lebih berbahaya dibanding batu bara.

Rep: Lintar Satria/ Red: Gita Amanda
Peningkatan kapasitas pembangkit listrik berbasis gas akan menaikkan biaya pembelian gas oleh PLN. (ilustrasi)
Foto:

Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Adila Isfandiari, menambahkan ekspansi pembangkit listrik gas akan memperburuk krisis iklim, terutama dengan meningkatnya cuaca ekstrem.

Komponen terbesar gas adalah metana yang dampak pemanasan globalnya 80 kali lipat lebih parah dibandingkan karbon dioksida. Selain itu, terdapat risiko kebocoran metana di sepanjang rantai pasok gas. Jika kebocoran metana melebihi 3 persen, dampaknya terhadap iklim justru lebih buruk dibandingkan batu bara.

“Padahal Indonesia salah satu negara yang sangat rentan terhadap risiko krisis iklim, terutama cuaca ekstrem. Pemerintah dan Bank Indonesia sudah mengakui bahwa cuaca ekstrem ini merugikan secara ekonomi hingga ratusan triliun,” kata Adila.

Dengan rencana penambahan kapasitas pembangkit listrik gas tersebut, Adila menegaskan Indonesia justru akan terkunci pada infrastruktur energi fosil dalam jangka panjang. Kondisi ini akan melemahkan kemampuan Indonesia meningkatkan kapasitas energi terbarukan secara cepat agar sesuai dengan komitmen Perjanjian Paris.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by ESG Now (@esg.now)

“Gas fosil bukan solusi iklim dan transisi energi. Rencana penambahan gas fosil di dalam RUPTL tidak sejalan dengan transisi energi dan harus dibatalkan karena skenario ekspansi pembangkit listrik gas akan memicu fossil gas lock-in. Ini bertentangan dengan agenda swasembada energi yang dicanangkan Pemerintahan Prabowo,” ujar Adila.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement